Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Nggibah sampai Mawas Diri

18 September 2020   18:31 Diperbarui: 18 September 2020   18:34 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa malam ini saya diskusi ragam rutinitas komunikasi antar pasangan hidup, baik yang sudah menikah maupun masih cimon (cinta monyet). Diskusi dengan salah satu teman dari Kediri yang hobinya naik gunung, Mas Panji namanya. Kira-kira perbincangan kita itu sebagian besarnya adalah gibah. Namun dari sana saya secara pribadi dapat mengambil pengetahuan dan laku yang seharusnya saya ambil dalam hubungan-hubungan sosial, pun internal keluarga.


Pertama, tentang hubungan segitiga. Kita tentu tahu apa itu cinta segitiga. Sulit dipercaya, tetapi itu memang terjadi di sekitar kita. Terutama di lingkungan saya saat ini. Hal ini tentu subjektif belaka. Dan agaknya, memang benar apa yang dikatakan Heidegger bahwa ragam apapun yang ada di luar diri manusia mengancam otentisitas manusia. Dalam hal ini espektasi di dalam diri pelaku cinta segitiga itu.

Kadang cinta segitiga terjadi tidak dalam satu lingkup komunitas, tetapi ada juga yang satu komunitas. Ini subjektif saja. Biasanya, ketika sudah terlampau jauh, maka akan saing mengorbankan satu sama lain. Asumsi yang muncul, kita tidak bisa mengontrol apa yang ada di luar diri kita. Lucunya, ada kompetisi yang terselubung di dalam hubungan itu.

Dengan kata lain hubungan cinta segitiga yang kita gibahkan malam itu sudah saling tahu satu sama yang lain. Pendek kata, kalau si A beli donat, si B juga beli donat, dan uniknya sama-sama dihaturkan untuk si mawar merah. Begitu seterusnya, sampai si mawar merah kelimpungan, bingung milih yang mana, atau sulit melepas keduanya.


Kedua, hal yang dapat membantu manusia untuk otentik dan bebas adalah permenungan atas kematian yang akan datang, hal ini secara melankolik dikatakan oleh  Heidegger. Lagi-lagi ini masalah cinta, masalah kepunyaan, kepemilikan dan kemelekatan. Tidak sedikit yang kemudian was-was, takut ditinggal kekasihnya, dikhianati dan lain sebagainya. Dengan apa-apa yang melekat di dalam kekasihnya itu, menjadi espektasi bagi dirinya atas apa yang sedang dimilikinya. Dengan kata lain, ketika manusia merasa memiliki atas apa saja, maka dapat dipastikan tidak siap kehilangan atas itu.


Untuk mengenal diri sendiri memang perlu latihan yang sangat keras. Karena tidak semua yang berpengetahuan memiliki kecenderungan atas kesadaran, pun sebaliknya. Di samping dua hal yang berbeda di satu sisi, tetapi beriringan di sisi yang lain. Hal ini perlu adanya penempaan dan latihan yang keras. Tentu dengan beragam perjumpaan-perjumpaan dan komunikasi-komunikasi sosial. Terkait ini, saya perlu belajar lebih giat lagi.


Pernah baca tulisan Ach. Dhofier Zuhri tentang Nabi Muhammad Bukan Orang Arab? Di sana terangkum jelas bahwa proses penempaan diri itu tidak melulu pada sisi geneologi. Tetapi juga pada sisi olah rasa yang dalam dan syarat akan introspeksi diri. Nyinyir silahkan, yang jelas bukan masalah siapa dirimu, tetapi bagaimana dirimu. Hal itulah yang terekam dalam tulisannya.


Pesan-pesan yang menjadi hikmah bagi kita semua adalah ketika kita bisa mengambil pelajaran dari itu semua. Gibah boleh, asal tidak untuk mencari kesalahan, melainkan mengambil pelajaran. Hal ini menurut Jhon Lock adalah interpresisi kebahasaan, dalam artian ungkapan atau informasi yang kita dapat bukan melulu menjadi pengetahuan, tetapi juga menjadi kesadaran. Dan untuk menuju kesadaran, rasanya perlu pendekatan dengan aku di dalam diri, dan aku di luar diri. Identitas dan personalitas agaknya menjadi sangat penting untuk dipahami dan dikoreksi. Tentunya oleh diri sendiri.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun