Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa, Antara Tradisi dan Arogansi

9 Februari 2020   12:18 Diperbarui: 9 Februari 2020   12:17 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Satelitpos

Masyarakat desa adalah masyarakat yang saling memegang teguh kebersamaan. Masyarakat desa memiliki system of relations yang saling memengaruhi satu sama lain. Pak Nur Syam menegaskan dalam bukunya bahwa kebudayaan atau tradisi suatu masyarakat adalah hasil dari aktivitas nalar manusia.

Nalar manusia berarti berkaitan dengan bahasanya. Hubungan masyarakat tergantung bagaimana human mindnya. Oleh karenanya mengapa tradisi lama, saling menghormati privasi satu sama lain justru masih lekat di pedesaan? Karena human mindnya belum terreduksi oleh pola kemapanan.

Kemapanan yang dimiliki oleh personal atau kelompok menjadi satu potensi adanya kecenderungan yang kuat memunculkan sikap acuh terhadap ruang yang lain, yang berada di bawah kemapanannya.

Saling menghormati hak satu sama lain adalah ciri dari kehidupan pedesaan. Kita akan menemukan bagaimana konsep persaudaran yang kuat (guyub rukun) terjadi di kehidupan desa. Jarak yang jauh antar tetangga bukan menjadi batas untuk tidak saling menjaga satu sama lain.

Kehidupan yang bertradisi adalah kehidupan yang berjalan beriringan dengan kemajuan jaman. Tradisi mengikat kuat hubungan antara transenden dan imanen hubungan kemanusiaan. Maka tradisi tidak bisa dikatakan sebagai kebiasaan semata.

Seiring kemajuan  jaman, apalagi teknologi sudah menuju pada era industri 5.0. Kemungkinan 10 tahun lagi tidak ada lagi manusia yang sibuk di jalanan. Cukup dengan kemudahan dari teknologi yang digenggam di tangan kaum rebahan saat ini akan menjadi bom waktu atas disfungsi hubungan sosial. 

Mengapa? di desa yang amat tenteram dan nyaman, jika malam datang maka suara serangga malam menjadi teman yang akrab, bahkan embikan hewan ternak menjadi musik yang membersamai angin malam diganti dengan gelegar sound-sound yang nyaring memasuki ruang gendang telinga. Ada yang gemar musik modern, gamelan, dangdut koploan, bahkan musik sholawat, hampir nyaring mengisi sepinya malam.

Kemapanan yang dimiliki bukan lagi menjadi mobilisasi sosial, justru menjadi ajang kemenangan egoisme saja. Bagaimana jika di sekitarnya ada yang sedang sakit dan terganggu oleh kebisingan? Apakah hal yang demikian termasuk mengganggu ketengan personal keluarga atau masyarakat desa yang lain? Karena pada dasarnya kemapanan yang terbentuk di lingkungan desa adalah awal terbentuknya egoisme sosial.

Kan... iki salon-salonku dewe!! (Kan ini sound system saya) jadi terserah yang punya. Ungkapan ini sontak menjadi tren kepemilikan hari ini. Utamanya di desa, desa yang pada awalnya terbentuk dari human mind yang luas dan santun. Saling menjaga satu sama lain adalah interpretasi dari baldatun tayyibun. 

Di mana agar sampai pada wa rabbun ghafur perlu adanya pola pikir yang luwes dan luas. Luwes dalam artian memahami hubungan kemanusiaan setiap anggota masyarakat. Luas adalah berpikir progresif tentang kemajuan pola pikir masyarakat desa.

Demokrasi bukan alasan untuk bersikap arogan. Demokrasi lahir dengan berasas menghormati perbedaan dan memberi kebebasan bersuara tanpa mencederai asas kemanusiaan. Sedang arogansi adalah sikap acuh tak acuh terhadap asas kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun