Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Menilik Beragam Karakter Manusia Saat Krisis

11 April 2021   18:18 Diperbarui: 11 April 2021   18:21 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krisis sebagai sebuah ujian penguak karakter manusia. (Dok pribadi)

SIANG tadi saya menaiki kereta komuter dari Stasiun Palmerah. Sedianya saya hendak sebuah stasiun di barat sana. 

Kereta jurusan Rangkasbitung itu tepat tiba pukul 2 siang. Tidak terlambat satu menit pun. Ketepatan waktu inilah yang saya sukai dari moda transportasi satu ini. Murah dan tepat waktu meski agak berjubel.

Minggu siang begini biasanya memang agak penuh tapi entah karena hendak menjelang Ramadan, kepadatan makin menjadi-jadi di dalam gerbong. Tidak ada lagi yang namanya menjaga jarak fisik. 

Saya tidak ada pilihan. Naiklah saya ke salah satu gerbongnya.

Saya berdiri karena selain karena tidak mendapat tempat duduk, saya laki-laki. Di gerbong ini, laki-laki bukan prioritas. Apalagi laki-laki yang masih muda dan kuat.

Dari Palmerah, cuaca sudah mendung. Tapi saya tak mempermasalahkan sebab toh di dalam gerbong saya terlindung dari terpaan cuaca.

Begitu meninggalkan Palmerah dan menuju ke Kebayoran, hujan turun makin deras dan intensitasnya memang tidak gila. Angin juga memang agak kencang tapi bukan angin puting beliung.

Kemudian setelah merapat ke Stasiun Kebayoran, baru kami merasa agak was-was sebab hujan makin menggelegar. Suaranya terdengar bahkan sampai ke dalam gerbong.

Sesekali terdengar petir. Kilat makin membuat orang cemas.

Sekitar pukul 14.20 WIB itulah terjadi sesuatu yang tak disangka-sangka. Sekelebat mata saya menangkap ada percikan api dan sejurus muncul asap di dalam gerbong di belakang gerbong yang saya tumpangi.

Sontak para penumpang gerbong itu merangsek masuk ke gerbong lainnya. Akibatnya gerbong yang saya naiki tiba-tiba ketumpahan penumpang gerbong lain.

Sejumlah perempuan dan ibu-ibu tentu berteriak sebab panik dan syok melihat ada percikan api dan asap.

Sedetik dua detik saya juga terkesiap. Otak saya menyuruh saya menendang kaca jendela di depan saya apabila memang gerbong sebelah terbakar.

Tapi untungnya, kami masih dilindungi Yang Maha Esa. Asap itu tidak disusul kobaran api yang membesar apalagi berkobar.

Selama beberapa saat saya masih berdiri tegak, mencoba menenangkan diri di tengah suasana yang campur aduk dengan kepanikan dan berusaha rasional di saat seperti itu sungguh tidak gampang.

Seorang perempuan di depan saya yang duduk sudah ketakutan. Ia tak mampu berpikir jernih dan menangis padahal dia juga tak bisa ke mana-mana karena pintu gerbong tertutup rapat dan kereta belum sepenuhnya berhenti.

Baru setelah itu petugas dipanggil masinis untuk ke gerbong depan dan makin ramailah orang-orang kasak-kusuk.

Ada yang berceletuk: "Aman nggak nih pak?" Ada getaran cemas di dalam suaranya itu. 

Seakan suara itu mewakili suara hati segenap penumpang.

Petugas berkata tegas dan singkat: "Jangan khawatir. Semuanya aman ya bapak ibu..."

Kemudian muncul imbauan seorang penumpang: "Matiin hapenya semua." 

Yang lain berteriak: :"Matiin datanya!!!"

Entah apa itu membantu atau tidak, saya juga tidak tahu apakah benar mematikan koneksi internet saat hujan deras dan potensi petir tinggi bisa memperendah risiko tersambar petir. Tapi saya juga jadi was-was akhirnya. Untung saya tidak mendengarkan radio via ponsel juga saat itu. 

Karena kereta berhenti, listrik mati dan pendingin udara mati, sirkulasi udara juga mandek.

Di jalan Bendi Raya itu, gerbong kami masih tertahan entah sampai kapan sejak sekitar pukul 14:25.

Saya menebar pandangan ke sekitar, mencoba mengamati perilaku manusia-manusia tatkala krisis. Unik-unik.

Ada seorang remaja perempuan berjilbab yang memegang tiang lalu menangis dengan memegang tangan entah saudara atau temannya.

Ada lagi pria paruh baya yang menggerutu karena ada yang teriak-teriak panik. "Udah nyebut aja. Subhanallah. Masak muslim kayak gitu. Inget Allah..." 

Lalu ada juga yang saking syoknya, mulutnya terkunci, mukanya pucat dan tubuhnya limbung, ingin duduk. Matanya nanar, membelalak, seakan ingin bersiap akan datangnya kejutan berikutnya tetapi kok tidak ada juga. Tapi tetap saja syarafnya tegang dan seluruh tubuhnya bersiaga penuh padahal kondisi tak lagi genting.

Ada juga yang buru-buru minum untuk menenangkan diri. Biasanya memang tenggorokan tercekat dan terasa kering setelah mengalami insiden mengejutkan. Air diharapkan mampu memberikan kesejukan dan ketenangan kembali.

Di dalam krisis inilah hal-hal yang tak diizinkan sebelumnya kemudian dimaklumi. Orang berdekat-dekatan, lalu membuka masker masing-masing dan berbicara untuk meredakan ketegangan. Ini tidak bisa dihindari dan pertanyaannya menjadi:"Apakah masih manusiawi untuk menegakkan protokol kesehatan di saat segenting itu?"

Kemudian setelah krisis berakhir, kekacauan makin berekskalasi. Jendela-jendela dibuka agar sirkulasi udara lancar sekaligus memberi jalan untuk penumpang meminta warga sekitar membelikan air minum dalam kemasan karena mereka butuh minum setelah terjebak di dalam gerbong.

Para penumpang makin tidak sabar untuk keluar begitu melihat para petugas dengan seragam resmi Kommuter Line juga turun gerbong dan berjalan kaki di sisi samping rel.

Dibukalah pintu gerbong secara paksa. Siapa yang mau melarang? Ini darurat.

Seketika berhamburanlah manusia-manusia dari gerbong ke rumah-rumah di samping rel. Ada yang mencari air minum, ada yang ingin salat zuhur, ada yang juga hendak makan siang.

Kembali di saat ini, saya seakan dilempar kembali ke masa-masa kelam perkeretaapian Indonesia. Gerbong-gerbong kereta kelas ekonomi yang tak manusiawi dengan penegakan disiplin yang rendah sekali.

Setelah banyak yang turun gerbong, yang tinggal di gerbong juga tidak berarti duduk manis. Ada yang berjalan ke sana kemari membeli makanan. Seorang ibu bahkan membawa mi instan rebus yang terhidang di piring plastik sekali pakai dengan kepulan asap yang menandakan masih hangat. Demi mengganjal perut. 

Pokoknya di sini kita bisa melihat bahwa tidak ada satu gelintir manusia mau sengsara. Semua mau enak dan tidak mau memikirkan peraturan atau disiplin lagi karena mereka bisa menggunakan kondisi darurat ini sebagai alasan.

Saya sendiri memutuskan turun lalu pergi karena sudah lelah menanti tanpa kepastian. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun