Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dua Kacamata Berbeda Melihat Peradilan Pidana Anak

28 Januari 2023   02:01 Diperbarui: 30 Januari 2023   09:16 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus penculikan disertai pembunuhan yang dilakukan 2 remaja karena terobsesi dengan tayangan transaksi organ tubuh di internet menjadi kasus kejahatan yang  mengerikan.

Melihat begitu banyak kasus kejahatan berat yang melibatkan anak-anak membuat kita miris dan prihatin. Anak Anak merupakan masa depan bangsa dan negara, anak memiliki masa harapan hidup panjang sebagai penerus suatu bangsa dan negara.

Sehingga perlindungan terhadap hak anak mestinya harus dikedepankan. Namun bagaimana kita menyikapi anak-anak yang melakukan kejahatan serius?.

sumber ilustrasi-klikhukum.id
sumber ilustrasi-klikhukum.id

Tidak ada penegasan dalam hukum nasional kita tentang apa saja jenis-jenis tindak pidana anak itu. Semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak, digolongkan sebagai tindak pidana anak. Termasuk pemahaman tentang juvenile delequency (kenakalan remaja). Namun, karena terminologi "remaja" tidak digunakan dalam hukum positif kita, maka konsep juvenile delequency dialihbahasakan menjadi kenakalan anak.

Ketika publik yang awam berhadapan dengan kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak, persepsi dan asumsi dalam melihat persoalan pastilah dari kacamata hukum positif yang standar. Artinya jika anak-anak melakukan tindak pidana kejahatan apapun bentuknya maka harus mendapat ganjaran yang sepadan dengan perbuatan atau pelanggaran hukumnya.

Namun proses yang sering ditempuh secara hukum adalah Diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kejahatan anak tidak diproses layaknya pelaku kejahatan yang dilakukan orang dewasa. Penetapannya dilakukan dengan aturan undang-undang dengan banyak catatan pertimbangannya.

Perbedaan inilah yang menyebabkan beda cara pandang antara kacamata hukum dengan kacamata publik yang awam.

sumber grafik-katadata
sumber grafik-katadata

Setelah satu dasawarsa berlaku, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) masih memicu polemik. Banyak yang menilainya tak adil. 

Banyak pihak berharap, revisi beleid-kebijakan ini akan mendatangkan keadilan bagi korban. Sekaligus, aturan itu diharap punya efek jera bagi kenakalan remaja atau anak pelaku tindak pidana atau dalam UU SPPA disebut anak berhadapan hukum (ABH).

Apakah beleid ini juga yang memicu mengapa eskalasi kejahatan yang dilakukan oleh anak masih tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis.

Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini konsisten berada di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019. Angkanya kemudian turun menjadi 69 anak pada 2020, dengan rincian 58 anak sebagai pelaku kekerasan fisik dan 11 anak pelaku kekerasan psikis.

Anak Di Mata Hukum

sumber foto-mata radar indonesia
sumber foto-mata radar indonesia

Di mata hukum positif di Indonesia (ius constitutum atau ius operatum), anak-anak lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig atau person under age). 

Atau orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjarig heid atau inferiority) dan kerap juga disebut juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).

Sistem Peradilan Pidana anak Menurut undang-undang Nomor 11 tahun 2012, sebagaimana Pasal 1 adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

sumber foto-satreskrim kolaka
sumber foto-satreskrim kolaka

Dalam menyelesaikan perkara, kalangan hukum biasanya memberlakukan Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya kejahatan pidana anak tidak diproses layaknya pelaku kejahatan orang dewasa. Namun dengan beberapa catatan.

Diversi dapat dilaksanakan apabila ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Artinya anak-anak pelaku kejahatan bukan residivis atau penjahat kambuhan.

Diversi Anak memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan orang dewasa, karena anak-anak salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, sehingga  penting diprioritaskan. 

sumber foto-LPM Edent
sumber foto-LPM Edent

Apalagi dalam hal hukum pidana, pembatasan umur Anak identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak.

Istilah "anak" saat ini relatif sudah memiliki definisi yang lebih tegas, yakni subjek hukum yang berusia di bawah 18 tahun.

Batasan umur Anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa; Anak yang berkonflik dengan hukum adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.

Azas Peradilan Pidana Anak

Jika merujuk pada keputusan Konvensi Anak (Convesion on The Rights of Child), dalam menjalankan pelaksanaan hukuman dalam tindak kejahatan pidana anak, kita harus berpedoman pada beberapa aturan yang intinya memberikan hak-hak kepada anak.

Salah satu hak anak adalah mendapatkan keadilan dimata hukum. Aturan mengenai peradilan anak dituangkan secara khusus di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sekalipun anak melakukan tindak kejahatanyang serius seperti pembunuhan atau pemerkosaan.

Hanya saja proses pencarian keadilan untuk setiap tindakan kejahatan yang mereka lakukan harus dimulai dari upaya yang tidak menghilangkan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan hingga sampai pada keputusan restoratif maupun diversi.

Bagaimanapun ketika anak melakukan tindakan kejahatan, meski secara umum menyadari bahwa kesalahan mereka akan berkonsekuensi hukum, namun bagaimana proses hukum yang sebenarnya, apalagi terkait tindak pidana, akan sulit untuk dipahami oleh anak-anak sebagai pelaku kejahatan sekalipun.

Dalam hal inilah anak membutuhkan pendampingan hukum. Sehingga peradilan pidana anak mempertimbangkan banyak azas dalam eksekusi pelaksanaan hukumannya.

Pertama Asas Perlindungan, terhadap anak telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 yang berbunyi bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Di dalam deklarasi hak-hak anak disebutkan pula bahwa anak karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah dilahirkan.

Perlindungan yang dimaksud meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan atau psikis.

Kedua, Asas Keadilan,  bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak.

Rujukannya dapa berupa Keadilan restoratif atau Restorative Justice,  "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan dapat diselesaikan.

Ketiga, Asas Nondiskriminasi (Non Discrimination) untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan, baik para pihak , atas dasar agama, ras, etnis, suku bangsa, warna kulit, status sosial, afiliasi atau ideologi. Tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik danatau mental.

Keempat Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak, bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

Kelima, Asas Penghargaan Terhadap Pendapat Anak,  penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.”

Keenam, Asas Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Ketujuh, Proporsional  bahwa segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi anak. Berarti bahwa hukuman yang diganjar kepada pelaku perlu disesuaikan dengan kejahatannya dan tidak boleh berlebihan. Sebagai contoh, apabila orang yang mencuri buah di supermarket diganjar dengan hukuman mati, hukuman tersebut dianggap tidak memenuhi asas proporsionalitas.

Kedelapan Azas, Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir Perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir yang dimaksud adalah pada dasarnya, anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.

Asas Penghindaran Pembalasan, prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

Dengan tetap berpegang pada azas tersebut, meskipun anak adalah pelaku kejahatan namun mendapat perlakuan hukum yan proporsional. Meskipun di kemudian hari juga mulai berkembang wacana kritis mempertanyakan bagaimana perlakuan hukum bagi anak ketika melakukan jenis kejahatan yang serius.

Terutama ketika banyak orang mulai mempertanyakan tentang juvenile delequency, karena ada sebagian orang merasa adanya ketidakadailan dalam penyelesaian kasus kejahatan berat yang dilakukan oleh anak-anak.

Keadilan Restoratif dan Diversi

sumber ilustrasi-fianhar
sumber ilustrasi-fianhar

Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak, pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.

Sehingga menjadi hal yang wajar jika di dalam persidangan kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak, timbul pertentangan dalam menyikapi kasusnya karena pada akhirnya kasus akan berakhir restoratif dengan melalui proses diversi. Bukan dalam bentuk hukuman layaknya orang dewasa, padahal kejahatannya luar biasa.

Anak-anak akan dihukum dalam format pembinaan mental, sebagai upaya perbaikan kembali kepada kondisi mental yang baik melalui proses diversi.

sumber foto-kemenkumham jatim
sumber foto-kemenkumham jatim

Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif.

Merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.

Tujuan dari Diversi juga diatur oleh pasal 6 UU SPPA, Mencapai perdamaian antara korban dan anak; Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Bahayanya hukum positif normal

sumber foto-bertuah pos
sumber foto-bertuah pos

Anak-anak pelaku tindak kejahatan jika diproses secara hukum positif seperti pada umumnya, maka jenis hukumannya sesuai tindak kejahatannya. 

Misalnya bagi para pelaku kejahatan pembunuhan  menurut Pasal 338 KUHP, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sedangkan bagi pelaku pembunuhan berencana akan dipidana dengan hukuman minimal 20 tahun, seumur hidup atau hukuman mati.

Namun karena pelaku masih belum berusia 18 tahun maka hukumannya diatur dalam Pasal 2 No. 4 Tahun 2014, bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).

Proses eksekusi hukuman dalam bentuk diversi juga merujuk pada aturan dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses yang dilakukan wajib memperhatikan: Kepentingan korban; Kesejahteraan dan  tanggung jawab Anak; Penghindaran stigma negatif;Menghindari pembalasan;Keharmonisan masyarakat; dan Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Jika anak-anak diperlakukan dengan hukum positif biasa, maka berbagai dampak buruk akan terjadi. Penempatan anak-anak bersama tahanan lain yang lebih dewasa umurnya dapat menimbulkan banyak jenis kejahatan. Dari kekerasan, eksploitasi seks, hingga pembelajaran yang buruk.

Mekanisme penghukuman pada akhirnya justru bukan menjadi sarana perbaikan, tapi menjadikan anak-anak sebagai penjahat yang lebih berbahaya.

Bukan tidak mungkin sekeluar dari penjara justru akan menjadi residivis, keluar masuk penjara karena kejahatan yang sama atau justru dengan eskalasi jenis kejahatan yang lebih tinggi tingkatannya.

Pertimbangan-pertimbangan bahwa anak-anak adalah orang yang belum dewasa, di bawah umur,  dan berada di bawah pengawasan wali. Hal  inilah yang mendasari mengapa perlakuan anak-anak pelaku tindak pidana kejahatan tidak mendapatkan hukuman layaknya para pelaku dewasa.

Kaji Ulang Beleid Pidana Anak?

sumber foto-national tempo
sumber foto-national tempo

Satu hal yang menarik adalah bahwa ternyata hukum nasional kita tidak memberi penegasan tentang apa saja jenis-jenis tindak pidana anak itu. Semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak, digolongkan sebagai tindak pidana anak.

Padahal, ada istilah juvenile delequency, yang umum diterjemahkan sebagai  kenakalan remaja. Namun, karena terminologi "remaja" sepertinya tidak digunakan dalam hukum positif kita, maka konsep juvenile delequency dialihbahasakan menjadi kenakalan anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menggunakan istilah "anak yang berkonflik dengan hukum"(ABH). Pasal 1 butir 3 dari undang-undang ini menyatakan, "Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Jadi, umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun inilah yang sebenarnya masuk dalam kategori remaja (juvenile).

Jika dilihat dari rentang umur tersebut, maka Anak yang Berkonflik dengan Hukum ( ABH) ini sudah dapat melakukan tindak pidana umum yang tergolong serius di mata masyarakat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penipuan.

sumber ilustrasi-pixta
sumber ilustrasi-pixta

Apakah terhadap ABH yang melakukan kejahatan seperti pemerkosaan dan pembunuhan layak mendapakan perlakuan khusus seperti diversi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak?, yang berujung pada penerapan sanksi yang lebih ringan terhadap pelaku.

Bagaimana jika pelakunya berusia di bawah 18 tahun, namun telah menikah?. Bukankah statusnya telah berubah bukan lagi berpredikat sebagai anak. Untuk dapat kawin, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia terendah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, kendati di masyarakat batas usia ini seringkali juga dilanggar.

Asumsi dari dikawinkannya anak berusia di bawah 18 tahun itu adalah karena mereka dianggap sudah mampu melakukan tugas dan peran sebagaimana layaknya orang dewasa. Salah satunya adalah bereproduksi.

Oleh sebab itu, tindak pidana yang tergolong serius dilakukan oleh ABH seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana, seharusnya tidak layak diberikan diversi. Perbuatan-perbuatan demikian bukan lagi disebut "kenakalan anak". 

sumber foto-propaper
sumber foto-propaper

Kenakalan anak adalah bentuk-bentuk pelanggaran yang masih bisa ditoleransi oleh masyarakat, bukan kejahatan yang meresahkan seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana.

Dengan melihat semakin banyaknya jenis kejahatan yang serius dan meresahkan yang dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, tampaknya praktik sistem peradilan pidana anak perlu ditinjau kembali.

Tidak hanya berdasar pada ukuran semata-mata batasan usia. Terutama berkaitan dengan keputusan untuk memberikan perlakuan khusus seperti diversi, keringanan, dan pengurangan hukuman.

Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mungkin dapat dijadikan dasar pertimbangannya . Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : (a) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tahun); (b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. 

Hal ini dimaksudkan agar dalam pemberian keadilan restoratif yang diterapkan oleh sistem peradilan pidana anak menjadi sangat naif apabila hanya dialihkan melalui pemberian fasilitas diversi, keringanan, dan pengurangan hukuman. Padahal tindakan para pelaku sudah tergolong serius dan meresahkan masyarakat.

Ini juga menjadi suara publik yang selama ini menganggap tidak adanya keadilan dalam menyelesaikan kasus yang dianggap bukan lagi sebuah kenakalan remaja biasa, tapi sebuah kejahatan yang serius!. namun tetap harus berpegang pada azas yang mendasari pelaksanaan hukum peradilan pidana anak yang sudah ada selama ini.

Tindakan Preventif Orang Tua

sumber foto-detikcom
sumber foto-detikcom

Banyaknya tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak selain disebabkan oleh masih labilnya perilaku karena masih dalam perkembangan yang menyerap begitu banyak informasi tanpa tersaring, juga ketidaktahuan konsekuensinya secara hukum.

Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terutama pendidikan moral dan agama, menjadi punya peran penting dalam mengontrol perilaku anak. Apalagi dalam situasi dan kondisi ketika penggunaan gawai sudah menjadi begitu permisif.

Teknologi menawarkan dua kemungkinan baik dan buruk seperti dua mata pisau. Sangat tergantung pada bagaimana penggunanya memahami sebab akibat penggunaan informasi dalam teknologi yang mereka gunakan.

Sekolah juga menjadi ruang yang berperan penting, karena sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Penyebaran informasi tentang berbagai konsekuensi dari perilaku tindak kejahatan agar dipahami oleh anak-anak secara umum menjadi kebutuhan yang semakin krusial saat ini.

Apalagi dengan semakin maraknya tindak kejahatan yang pelakunya justru anak-anak sekolah, bahkan dari jenjang sekolah dasar.

Peninjauan kembali persoalan hukum terkait juvenile delequency, kaitannya bukan pada bagaimana memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku tindakan kejahatan kanak-kanak, namun mencari solusi terbaik untuk terpenuhinya keadilan dan penanganan hukuman bagi anak-anak agar tidak justru memuat anak-anak menjadi "penjahat sebenarnya" atau menjadi residivis.

Ruang penjara menjadi ruang rehabilitasi yang sebenarnya, menumbuhkan kembali kesadaran secara mental spiritual. Agar ketika mereka keluar dari "ruang rehabilitasi" tersebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Bagaiamanapun anak-anak adalah pewaris masa depan kita.a

referensi; 1,2,3,4,5,6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun