Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Monster Inc Dalam Wayang Akulturasi

2 Februari 2022   23:29 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:03 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu dengan prosesi yang harus dilakukan sang dalang sebelum memulai pertunjukkan wayang thithi seperti dalang harus mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan. Selain itu, sang dalang juga harus menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai cerita, menguasai bahasa Jawa dan sebagainya.

Tapi apa yang saya saksikan sudah jauh sekali berubah modifikasinya, tidak ada lagi ciri khas Jawa, tapi lebih modern, kurang lebih mengadopsi panggung Broaway. Bonekanya modern, menggunakan magnet dan ceritanya sangat sederhana, tapi tentang  putri dan pangeran dengan kurcacinya.

Wayang Thiti dalam Literasi

Apapun jenis literasi yang menjadi peninggalan jejak wayang jenis ini harus di jaga dengan baik, termasuk perhatian pemerintah juga sangat penting. Agar jejaknya tidak hilang begitu saja. Beberapa koleksi buku-buku lakon wayang thithi yang sampai saat ini masih ada, tersimpan sebagai koleksi pribadi  milik Dr. F. Seltmann di Stuttgart, yang dijual kepada Staatsbibliothek zu di Berlin pada tahun 1995.

Uniknya, naskah-naskah itu dibeli oleh Dr. F. Seltmann ketika ia tinggal di Yogyakarta selama 1 tahun (1964-1965) dari Gan Thwan Sing (1885-1966). Pembelian naskah-naskah ini termasuk pembelian satu kotak wayang Cina-Jawa milik Gan Thwan Sing. Teks wayang Cina-Jawa Yogyakarta merupakan teks lakon pergelaran wayang. 

Cerita-ceritanya ditulis dalam bentuk prosa, berbahasa dan beraksara Jawa. Keunikan naskah ini terletak pada aksara Jawa yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing untuk menuliskan nama-nama tokoh Cina, bahasa, aksara dan kisahnya.

Naskah lainnya bertaburan menjadi milik pribadi yang harus segera dilacak keberadaannya sebelum menjadi "sampah". Mengapa?. Orang yang tidak paham sejarah dan menemukan naskah ini, bisa saja menganggap sebagai buku tua biasa, dan bisa jadi akan membuangnya.

Menurut Novia Anggreini, seorang narasumber dalam catatan literasinya, seperti halnya wayang purwa, wayang titi juga punya babak dalam bercerita di panggung. Seperti dimulai dari adegan kerajaan, kemudian tokoh dalam cerita dan dilanjutkan dengan ceritanya itu sendiri.

Saya bahkan tak paham benar jika ternyata wayang  thiti ini sebenarnya akulturasi budaya yang cukup rumit. Menurut saya semakin rumit, menunjukkan pertunjukkan wayang ini sebuah nilai seni budaya yang sangat tinggi. Walaupun apa yang saya saksikan berbeda hampir 180 derajat dengan versi asli dari akulturasi budaya wayang thiti tersebut.

Bayangkan saja, Babak awal, pertunjukan diiringi dengan tetabuhan gamelan atau gendhing-gendhing pathet nem. Babak pertengahan, dalang memberi isyarat kepada para pemusik (niyaga) agar sejenak membunyikan gendhing lindur dan disusul dengan gendhing pathet sanga. Babak akhir, pertunjukan diiringi dengan gendhing pathet manyura. Sebagai penutup, iringan musik gamelan menyajikan gendhing ayak-ayakan pamungkas.

Tentu saja kita sangat asing dengan istilah tersebut, tapi sekali lagi semakin unik, semakin bernilai seni budaya kesenian ini. Mungkin perbedaan paling kontras adalah, penggunaan para tokoh yang umum dipakai dalam pewayangan. Apalagi tradisi China sebenarnya tidak mengenal tokoh seperti "para punakawan" yang bisa kita telusuri dalam literasi, seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Bahkan dalam proses akulturasi yang telah jauh lebih maju, sebagai ganti lawakan, dalang menggunakan waktu jeda dengan cara sederhana, memasang papan tanda  "ishoma".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun