Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Ketika Penyangrai Kopi Menciptakan Trend

9 Desember 2021   20:12 Diperbarui: 21 Desember 2021   14:05 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

losangelestime

Coba perhatikan bagaimana riuhnya ruang kompetisi barista kopi dunia, ia tak hanya menyaji kopi, bahkan ia menentukan hingga kapan setiap kopi yang dibikinnya harus diseruput. Ia akan menyebut varietas kopi seperti memperkenalkan seorang artis!. Dan disambut tepuk tangan meriah. Inilah dunia kopi artisanal, dimana kopi Aceh, juga di seduh dalam gelas-gelas oleh barista-barista fenomenal dunia.

Dunia kopi memang kompleks. Kisahnya bisa dirunut dari sejak sebuah biji kopi, hingga berbagai gerakan sosial yang tumbuh didalamnya. Bahkan untuk sekedar soal citarasa saja, kopi telah memasuki fase yang disebut dengan "kopi gelombang ketiga" dari keahlian membuat kopi itu sendiri.

https://amankubacoffee.co.id/
https://amankubacoffee.co.id/

Layaknya gelombang ketiga peradaban ala Alvin Tofler, kopi menjelma menjadi komoditas yang menciptakan trend dan paradigma baru soal menikmati kopi dan "mengeluarkan" rasa spesial yang diciptakan langsung oleh penikmatnya. 

Bukan lagi "dipaksakan" oleh pabrikasi atau tangan ketiga dari rantai panjang kopi, sejak dari tangkai hingga ke meja seduh. Kemunculan trend ini, diilhami oleh rumitnya gerakan feminisme gelombang ketiga yang menonjolkan setidaknya empat sisi aliran; postmodern, multikultural, global dan ekofeminisme yang saling menegasi dan melengkapi.

Namun kompleksitas kopi dengan gelombang ketiganya, sebaliknya justru memiliki karakteristik yang tidak saling menegasi. Intinya, seperti ujaran Lyotard dan Vattimo soal postmodernisme, trend ini mencoba melihat kembali segala sesuatu yang telah dibuang, dilupakan, dianggap irasional, tidak penting, tradisional, dimarginalkan dari biji kopi. (jurnalperempuan.org).

Gerakan ini adalah gerakan yang dipimpin konsumen dan produsen untuk mengkonsumsi, menikmati, dan menghargai kopi berkualitas tinggi. Memperlakukan biji kopi sebagai sebuah produk makanan "artisanal" dan berusaha menyampaikan rasa dalam kopi yang diseduh. 

https://amankubacoffee.co.id/
https://amankubacoffee.co.id/

Artisanal bisa diartikan sebagai karya produksi non-industri bernilai lebih, orisinil dan dieksekusi secara manual. Dalam arti lain sebagai organik, berarti tanpa campur tangan kimiawi, semuanya alami.
 
Gelombang ketiga dari keahlian kopi, biji kopinya bersumber dari pertanian dan bukan berasal dari suatu negara. Realitas tentang kopi spesial dari sebuah negara dimentahkan kembali. Berganti pada bagaimana mengolah biji menjadi sebuah "mahakarya produk". Tehnik pemanggangan adalah tentang bagaimana "mengeluarkan rasa" daripada membakar karakteristik unik dari setiap biji, yang rasanya bersih, keras dan murni.

Tidak ada kekangan dari pabrikasi, bahkan raw coffee menjadi standar ukur dan medium awal menciptakan sebuah citarasa kulinari minuman yang tiada tara. Bukan lagi darimana biji kopi itu berasal. Apakah gelombang ini menjadi "pembunuh" karakter kopi-kopi speciality, demi sebuah "pasar persaingan terbuka"?.

Mengapa Gelombang Ketiga?
Popularitas Istilah "kopi gelombang ketiga" paling banyak dikaitkan dengan profesional kopi Trish Rothgeb, seorang penyangrai kopi asal AS, karena artikelnya di tahun 2003, untuk Buletin Roasters Guild berjudul "Norwegia dan Kopi".

Fenomena ini gila, karena seorang penyangrai kopi dapat menjadi rujukan sebuah trend baru cita rasa kopi. Jika saja kita memiliki parameter dan kuasa atas kualitas cita rasa kopi secara profesional, maka bukan tak mungkin para penyangrai kopi di bilangan Ulhee Kareng, sebuah kampung kecil di Aceh, pusat pengolahan kopi, akan berada dalam barisan depan layaknya Trish Rothgeb. 

acehnews.id
acehnews.id

Kopi tak sekedar diulik rasa, bahkan "di-revolusi" pengolahannya untuk sekedar mengeluarkan rasa kopi yang sebenarnya. Lebih dari sekedar secangkir kopi generik belaka.

Trend atau kecenderungan memang diciptakan untuk membangun sebuah paradigma citarasa kopi. Ketika trend dijadikan budaya atau kebiasaan baru, maka budaya lama ter-apkir atau tergantikan posisinya oleh trend baru atau sebaliknya trend baru justru mendukungnya menjadi sebuah khazanah kulinari baru. 

Demi memenuhi dan menargetkan pasar gelombang ketiga saja, pada tahun 2014 pemilik jaringan gerai kopi dunia starbucks menginvestasikan 20 juta dollar AS-nya di ruang pemangganggan kopi dan ruang pencicipannya di Seattle, Amerika Serikat.

Memang kelahiran trend gelombang ketiga kopi tidak sederhana. Bahkan trend ini dianggap "menganggu" perdagangan kopi yang lebih fokus pada komoditas dan menjunjung kualitas rasa, rasa unik, persaingan harga dan standarisasi rasa. 

Sebagai trend yang memposisikan kopi sebagai makanan artisanal, berusaha menonjolkan karakteristik unik yang dihasilkan dari keragaman kultivar biji kopi, metode penanaman dan budidaya, metode pemrosesan, metode pemanggangan, dan variabel dalam penyiapan minuman. Layaknya anggur yang cara dan pengalaman konsumsinya dipenuhi sensasi eklusifisme kulinari kelas atas.

Menariknya, Kopi Aceh-Gayo berada pada garis linier yang tepat dengan trend baru ini, tapi dengan beberapa catatan. Terutama karena modal dasar spesifikasi ragam kultivar bawaannya yang sangat spesial dan unik, berpeluang untuk bersaing mutu dengan ragam kultivar kopi lain di dunia.

Menurut referensi yang rujukannya lebih banyak ke Amerika, Kopi Gelombang Pertama dikaitkan dengan era, ketika kopi sebagai komoditas di pahami oleh konsumen penikmat kopi secara pukul rata, tidak peduli asal negara atau apa jenis kopinya. 

Kopi instan, kopi kaleng toko kelontong maupun kopi restoran, berada dalam kategori ukuran ciratasa yang sama. Intinya pada secangkir kopi yang terjangkau, harga rendah dan konsisten, artinya bisa dinikmati kapan saja, tetapi tidak berusaha membuatnya sendiri, alias kopi siap saji.

Fokus Kopi Gelombang Kedua, dikaitkan dengan sumber asal muasal kopi, cara pemanggangan, dan pencampuran artisanal. Gelombang kedua memperkenalkan konsep negara asal yang berbeda untuk konsumsi kopi. 

Speciality coffee dari asal negara berbeda memiliki penggemar fanatik dan para profesional yang bersedia membeli dengan harga tinggi, terutama kopi di zona tropis, seperti halnya Kopi Gayo karena memiliki speciality yang berbeda yang ditawarkan dari setiap biji yang dihasilkan. Membawa kenikmatan kopi yang lebih luas pada bagaimana kopi dapat membuat pengalaman menikmati kopi menjadi lebih menyenangkan.

Sedangkan Kopi Gelombang Ketiga, lebih spesifik pada konsep "kopi spesial", bahkan merujuk pada biji kopi hijau-raw coffee beans (kopi mentah dan tidak dgonseng), sangat berlawanan dengan mainstream kopi komersial yang mensyarakatkan biji kopi berkualitas siap olah. Apakah "emas hijau" dari kopi Gayo organik bisa menjadi bagian dari trend baru ini?.

Kopi Organik Sebuah Prasyarat?
Lantas dimana posisi kopi Gayo, kopi Aceh kita dalam pusaran gelombang baru tersebut?. Apakah kita masih berkutat pada gelombang kedua yang mengandalkan speciality kopi sebagai kekuatan bargaining position?. 

Apakah kita sudah mulai melirik pasar kopi gelombang ketiga yang melihat kopi hijau (raw coffee beans) sebagai sebuah komoditas incaran yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi?.

Sebagai catatan di tahun 2019 saja, harga jual kopi Gayo (organik) berada di atas rata-rata harga kopi dunia. Sebagai perbandingan harga kopi dunia adalah 2,8 dollar AS atau setara Rp.39.000 per kilogram, sedangkan kopi Gayo dihargai, 5,5 dollar AS per kilogramnya untuk jenis kopi hijau. (popularitas.com). 

Alasannya tentu saja, karena organik, budidaya ramah lingkungan dan rasa spesial yang tiada duanya. Nilai ekspornya sekitar 970 ton per tahun, meliputi 65% pasar Uni Eropa dalam komposisi produk kopi non organik dan 35% untuk pasar Amerika Serikat sebagai produk kopi organik. (aceh.tribunnews.com)

Terlepas dari bentuk "tekanan" atau persaingan bisnis, euforia kopi arabika Gayo sempat terusik dengan munculnya kabar penolakan produk kopi Gayo di pasar Eropa seperti Inggris, Jerman dan Perancis. 

Penyebabnya, lantaran kandungan zat kimia jenis glyphosate sebesar 0,02 di atas ambang batas minimum 0,01 yang merupakan dampak penggunaan racun rumput (herbisida), yang membuat kopi Gayo tidak lagi disebut organik.

Sekalipun komoditas Kopi Arabika Gayo telah mendapat sertifikat Indikasi Geografis (IG) sejak 2016, namun untuk golongan kopi konvensional atau kopi Gayo Arabika sembarang yang tidak terlalu jelas asal-usulnya belum bisa diterima baik di pasar global.

Bagaimana kita bisa memenuhi berbagai persyaratan ketat pasar kopi dunia, yang menekankan pentingnya precision farming, post harvest handling, dan juga soal food safety agar masuk dalam kategor pasar kopi gelombang kedua dan ketiga?.

Mendorong sistem pertanian kopi organik yang menerapkan prinsip ekologi, keadilan dan perlindungan alam untuk kualitas kopi terbaik sebagai acuan standar. 

Konsistensi produk (organik dan non organik yang terpilah), parameter standar uji ketat, stimulus di hilir, mitigasi dan adaptasi teknologi untuk perubahan iklim dan proses rehabilitasi tanaman kopi di dataran tinggi Gayo di Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues hingga 1.350 hektar melalui sekolah lapangan, teknologi terintegrasi kopi dengan ternak dan bintek kopi milenial untuk peremajaan kopi arabika, dan program petani melek digital adalah sedikit solusi dan tantangan besar kita sebagai salah satu pemasok kopi di Indonesia dan dunia.

Meskipun parameter dan prasyarat tersebut ketat dan rigid, terutama dalam "memetakan" standar kopi, namun untuk dapat diakui dan bisa "bermain bebas" dalam gelombang kopi dunia, siap tidak siap kita harus melakukannya. 

Jika tidak mau tertinggal, bahkan oleh Vietnam, sebuah negara kecil dibanding luasnya Indonesia yang terus belajar menjadi "petani cerdas" dengan memanfaatkan digitalisasi teknologi untuk melejitkan semua potensi komoditas pangannya, termasuk kopi. Terbukti mereka berada di posisi pemasok kedua setelah Brazil dengan besaran 14,3 persen pasar kopi dunia.

Green Farm System, Dine-in dan Covid-19
Trend kopi gelombang ketiga dan Pandemi Covid-19, secara tidak diduga menjadi salah satu momentum kita me-reposisi industri dan me-revolusi perkebunan kopi kita dalam memproduksi dan memasarkan produk kopi.

Berubahnya parameter produk keluaran kebun kopi yang mengedepankan precision farming, post harvest handling, dan food safety, membuat kita harus memikirkan gagasan green farm system. 

Belajar dari kasus glyphosate dengan UE yang menjadi sinyal perubahan cara pandang dunia dalam melihat sebuah keluaran produk pangan yang ramah lingkungan. Apalagi kita menargetkan produksi kopi hingga769,7 ribu ton per tahun (lokadata-2019).

Di sisi lain, cara mengemas kopi karena larangan layanan dine-in, selama pandemi covid-19, mendorong keluaran produk ready-to-drink- kopi single origin dan roated beans siap seduh sebagai alternatif di kalangan produsen yang menyasar semua segmentasi pasar melalui e-commerce. 

Sebagai bagian dari dua trend besar kopi gelombang kedua dan ketiga yang tengah berlangsung, kita harus me-repositioning kopi Aceh menjadi bagian tak terpisahkan. 

Tentu saja dengan kerja keras mendorong sistem pertanian kopi organik yang menerapkan prinsip ekologi, sekaligus meluaskan pasar industri kopi dengan pelibatan petani cerdas dari kalangan milenial sebagai "penjaga" speciality kopi di negeri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun