Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dakwah di Mimbar Digital

11 September 2018   11:52 Diperbarui: 5 Februari 2021   02:31 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://savanapost.com/digital-vigilantisme-media-sosial-dan-narasi-perpecahan/

bincangsyariah.com

PERNAH dengar istilah ngabuburit? Meski arti ngabuburit dalam bahasa Sunda berarti "menunggu petang", namun intensitas penggunaan terma ini selama bulan puasa Ramadhan berubah menjadi "menunggu waktu berbuka". Seorang dai kreatif zaman now kemudian menggunakan istilah ngabuburit untuk mengajak komunitas sepeda motor besar (moge) berkeliling kota; menunggu waktu berbuka, berkumpul di masjid, berjamaah shalat Maghrib, diikuti tausiah setelahnya.

Intinya, dakwah tidak melulu hanya aktivitas ritual ibadah belaka dan diikuti oleh kalangan eksklusif di lingkungan masjid. Dakwah on the street, kini menjangkau komunitas yang lebih beragam. Dai dan format dakwah kreatif kini berupaya "menjemput bola" beragam segmentasi jamaah agar menuju mencintai masjid dengan cara yang lebih populer dan kekinian.

Urgensinya adalah muatan dakwah itu sendiri, bukan hanya lokus (tempat)-nya saja. Informasi dan ilmu pengetahuan termasuk studi agama, tidak melulu hanya dalam ruang masjid dan ruang kelas. Bahkan narasumber yang berbobot, kini bisa lebih mudah dijumpai di media sosial (medsos). Berdakwah di ruang medsos dianggap sangat praktis dan murah untuk menjangkau umat yang luas, berbanding terbalik dengan format dakwah tradisional yang vis a vis dan kompleks mobilisasinya.

Format dakwah mengalami evolusi yang pesat. Mulanya, dakwah dan ruang dakwah terbatas di masjid dan ruang tausiah eksklusif. Seiring waktu dakwah mengalami perkembangan, mulai dari dakwah on the street, dakwah in the mall, travelling masjid, bahkan hingga dakwah di area car free day. Kini bahkan lebih dahsyat lagi, karena dakwah berevoluasi menuju ruang publik yang luas di media sosial, di dunia maya. Video dakwah dai kondang seperti Ustad Abdul Somad, Khalid Zaed Abdullah Basalamah, Hanan Attaki, dan Adi Hidayat kini menjadi "viral" dan ditonton oleh puluhan jutaan orang.

Revolusi dakwah
Revolusi itu tidak hanya berubah dalam format isi, namun juga bergerak lebih jauh secara "komersial", melalui media yang memungkinkan dakwahnya didengar dan disaksikan oleh jutaan orang. Fenomena ini masih menuai kontradiksi dan silang pendapat. Sebagian orang menggangap transisi ini berpengaruh kepada "niat awal" atau idealisme para dai dalam berdakwah. Apakah motivasi akhirat atau justru ketenaran (popularitas-viral) dan faktor komersial yang justru menjadi raja?

Namun sisi positifnya, ketika format dakwah menjadi kian beragam, jamaah makin memiliki banyak pilihan untuk menikmati model tausiahnya. Begitu juga dengan narasumbernya. Lantas, apakah realitas ini bisa menjadi akar benturan antara dai tradisional dan dai modern? Atau justru menjadi bentuk revolusi baru yang menandai trend positif, nilai-nilai dan muatan agama diserap oleh kalangan yang lebih luas, tidak eksklusif dan mendorongnya tumbuhnya trend kesadaran baru beragama lebih kaffah dan universal (membumi).

Revolusi ini dianggap menjadi bagian dari kecermatan para ulama dalam membaca tanda-tanda zaman. Karena jika dakwah hanya dilakukan secara eksklusif di tempat yang terbatas, seperti masjid, mungkin jangkauan misi dakwahnya akan terkungkung jarak, waktu dan kesempatan orang untuk mendengarkan isi dakwah dalam kesibukan duniawi. Akan tetapi ketika format dakwah berubah lebih kreatif, siapa pun dan dimanapun dapat menikmati isi dakwah. Sementara persoalan apakah isi dakwah kemudian dapat merasuk dan mengisi kalbu para jamaah, adalah persoalan yang makin private. Semakin cerdas orang dalam zaman yang canggih, pilihan dan tantangan dakwah makin besar.

Jika ada kalangan yang berasumsi, model dakwah modern dan kreatif dianggap telah terkontaminasi unsur komersial alias materialitas, lantas bagaimana upaya mendorong agar dakwah mudah dan cepat di terima oleh banyak kalangan tanpa terkendala jarak, waktu, dan ruang layaknya dakwah tradisional?

Padahal dalam revolusi terbaru, orang dapat menjangkau dan menerima kehadiran dai melalui WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, dan format lainnya yang berdaya jangkau luas. Intinya, memanfaatkan ruang media sosial sebagai bagian dakwah adalah sebuah strategi yang positif dari pada ber-ghibah, menghujat, menyebarkan ujaran kebencian, hoaks. Apalagi perkembangan teknologi, kini membuat ruang personal makin sulit diintervensi.

Terkait misi dakwah, menarik untuk merenung kaji ulasan Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, bahwa secara normative-preskriptif, ketika seseorang makin sering mengikuti kegiatan keagamaan, mestinya makin berdampak positif dan semakin saleh secara sosial, dan menjadi hamba yang disayang Allah. Tetapi sebagian pendakwah agama cenderung tak menekankan pada sisi tersebut. Bagi para dai, fungsi ritual yang utama itu ada dua; untuk mengejar pahala sebagai tabungan akhirat dan penghapus dosa.

Pendekatan keberagamaan semacam ini menurut Komaruddin, membuat moral semakin lembek, tidak melahirkan gairah menjadikan Islam sebagai sumber dan pilar peradaban. Bahkan menurutnya pendekatan Islam yang kaku, ideologis, dan hipertekstualis, telah menggerus ekspresi keberagaman di Indonesia (Tempo, 24/6/2018).

Komersialisasi dakwah?
Seiring perubahan platform, dakwah online berevoluasi, dari syiar lewat pesan pendek (SMS) premium, kini melaju ke platform media sosial. Dalam konsep yang kekinian, dakwah para dai medsos telah dihitung dalam Rumus Monetisasi. Artinya setiap gerak dakwah mereka dihitung dari minimal waktu tonton; 4.000 jam, dengan minimal pelanggan; 1.000 dan rekapitulasi pendapatan dihitung dengan sistem CPM (cost per milee) atau pendapatan per 1.000 impresi (jumlah iklan yang ditonton).

Monetisasi diperoleh dari penyematan iklan di video lewat Google Adsense dan menyedot pendapatan dari pelanggar hak cipta. Sementara di facebook, twitter dan instagram, pendapatan baru diperoleh jika para dai dan tim kreatifnya menyajikan produk komersial. Jika sebuah video ditonton 10 juta kali, tapi iklan di video hanya ditonton 50 ribu kali, maka video tersebut menjadi 50 ribu impresi. Jika CPM di Indonesia bernilai 0,25-1 dolar AS, maka (50 ribu impresi dikali nilai CPM, dibagi per 1.000), maka pendapatan yang diperoleh adalah 12,5-50 dolar AS.

Dengan Rumus Monetisasi tersebut maka, dai medsos tidak hanya akan mendapat impact positif berupa pahala dari sajian materi dakwah yang ditonton jutaan jamaah jika ikhlas, namun juga mendapat penghargaan pundi finansial secara langsung. Tentu saja di dalamnya harus memenuhi aturan main, bahwa materi dakwah dikaji secara sistematik, tidak hanya mengacu pada produksi media namun juga proses perluasan melalui konten media yang didistribusikan, diterima dan dikonsumsi oleh audien yang telah diregulasi oleh Negara. Meskipun ukuran-ukuran materi tidak semestinya menjadi ukuran mutlak atas nilai "keihklasan" dai berdakwah.

Seiring revolusi dakwah, jangkauan materi dakwah akan bergerak mengikuti trend dan popularitas (viral) para tokoh dakwah tersebut. Namun perspektif intinya bukan semata untuk mengkultuskan materialisme dalam konteks dakwah, dan pengalaman ini jauh dari model dakwah para dai tradisional. Tulisan ini tidak bermaksud memarginalkan peran dai tradisional, karena seiring perubahan trend dan platform dakwah, dunia dakwah juga akan mengalami pasang surut. Dan kita harus siap menyambut perubahan tersebut.

Begitupun, sejatinya dalam perubahan konsep dakwah yang dramatis dan revolusioner sekalipun, segmentasi atas kelas-kelas sosial ekonomi yang beragam masih membutuhkan berbagai model dakwah tradisional untuk terus menguatkan dan menebalkan keimanan umat. Peran dai tradisional masih terus dibutuhkan, berdampaingan dengan para dai yang telah berevoluasi dalam fomasi dakwah yang lebih kompleks dan masyarakat yang lebih hiterogen (beragam). Kita menyebutnya generasi milenial.

Terlepas dari perkembangan model platform dakwah yang revolusioner, minimal ada dua hal yang bisa disentuh dari setiap kehadiran misi dakwah; penguatan pemahaman Islam itu sendiri dan menginternalisasi nilai-nilai keislaman secara minimal dalam keseharian (mengejar pahala sebagai tabungan akhirat dan penghapus dosa). Selebihnya kembali pada masing-masing personal dalam memaknai dakwah yang diterimanya.[hansacehdigest-2018].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun