Kepemimpinan Zikir saat ini, semestinya mewakili sebuah gagasan baru, akan dibawa kemana Aceh dalam 5, 10 bahkan 25 tahun mendatang. Tentu saja dengan visi pembangunan ala Zikirnomics-nya. Meminjam secara ‘membabi buta’ istilah yang sudah lebih dulu dipopoluerkan, Widjojonomics dan Habibienomics serta Mualemnomics (serambi;18/1/15).
Dibawah kepemimpinan dua sekawan dari satu rumah yang belum ‘se-ide’, Aceh memang berada dalam posisi serba salah. Kewajiban dan tanggungjawab Zikir adalah, both of them (kedua-duanya), tidak  parsial alias sebelah menyebelah. Dalam konteks bahwa ketika kelemahan atas kepemimpinan muncul, menjadi tanggungjawab kolegial keduanya. tidak ada yang berdiri ’diluar’ dan ‘didalam’. Bahwa persoalannya adalah buntunya komunikasi, menjadi persoalan yang harusnya dijembatani keduanya.
Persaingan Politik
Kebuntuan itu nyata bentuknya, manakala indikatornya suhu politik jelang kontestasi 2017, yang ditataran publik dibaca sebagai ‘persaingan politik menuju Aceh-1’. Tak hanya pembangunan yang kemudian belum menemukan arah jelas, bahkan di tingkat pembahasan APBA ‘nyaris’ tidak mendapat perhatian yang urgen dan genting. Tentu saja persoalan mendasar ini, dalam konteks pertanyaan Prof Hasbi di awal dapat menjadi indikator bahwa, sekalipun banyak sosok yang ‘bersedia’ membangun Aceh dan Indonesia sekalipun, namun yang bervisi jelas masih harus dilanjutkan dengan berbagai pertanyaan lain untuk menemukan sisi kepemimpinannya lebih kongkrit. Apakah pemikiran dan visinya telah menjadi rujukan dalam ruang kebijakan secara regional, atau bahkan nasional?. Jika pertanyaan dasar ini belum terjawab, artinya ‘tokoh’ kita masih ‘jago kandang’?.
Francis Fukuyama dalam The End of History, menyatakan bahwa persoalan kapasitas itu ditunjukkan pada kemampuan berorganisasi secara demokratis, terutama organisasi ‘skala besar’. Dimana hal itu sangat ditentukan oleh apa yang disebutnya sebagai modal sosial (social capital) yang ber-intikan kepercayaan (trust) yang berperan sebagai perekat organisasi dan kegotong-royongan. Hanya sedikit bangsa-bangsa di dunia yang memiliki modal sosial yang tinggi (high trust society) seperti halnya Jepang dengan etosnya yang luar biasa.Â
Adapun bangsa yang tipis modal sosialnya (low trust society) akan sulit mencapai kemajuan, kecuali dengan otoritarianisme atau sistem administrasi dan sistem hukum yang keras. Seperti halnya ditunjukkan oleh China yang saat ini menjadi kekuatan utama dunia. Sebuah Pemerintahan membutuhkan sistem administrasi publik, meski bermodal tipis sekalipun.Â
Dengan demikian, demokrasi yang terbangun berdasarkan modal sosial yang kuat adalah sebuah indikator kecerdasan atau kemampuan berpikir. Sedangkan pembangunan dengan otoritarianisme adalah sebuah cara yang tidak cerdas dan bisa menimbulkan bencana. (mahbubani; xii/8/2005).
Dalam konteks kepemimpinan dan krisis kepemimpinan yang melanda saat ini, Aceh membutuhkan tidak hanya sekedar figur atau tokoh, namun lebih krusial lagi yang memiliki visi dan perencanaan pembangunan yang jelas. Daftar ‘pekerjaan rumah’ yang memenuhi nanggroe kita saat ini sudah akut dan nyaris tanpa solusi jelas. Mulai dari bencana lingkungan yang silih berganti diseantero Aceh, pendidikan yang terlempar keurutan bawah, APBA macet, hingga kemiskinan yang bertambah.
Kita menunggu solusi yang tidak hanya bersifat verbal, slogan, retorika atau janji politis, sekedar Aceh Kerja!, Kerja! dan kerja!. Lebih jauh dan lebih kongkrit harus dengan langkah-langkah menuju persatuan. Mahbubani, menawarkannya dengan cara sosio-nasionalisme, sosio demokrasi serta demokrasi politik dan demokrasi ekonomi berdasarkan keyakinan kepada Ketuhanan.
Pilihan ke-syaria’tan kita adalah sebuah pilihan penting yang tidak hanya mewakili sebuah hubungan Hablum Minannas, tetapi juga juga Hablum Minallah. Ini menjadi ‘modal dasar’ bagi siapapun yang ‘bersedia’ memimpin Aceh untuk meyakini komitmen tersebut dan mengantarkan kita menuju Aceh yang lebih baik. [hans-2016]
Â