muslimahnews.com
Dalam sebuah diskusi di ruang pasca UIN Ar-Raniry, Prof. DR. M.Hasbi Amiruddin,MA, melontarkan sebuah pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik. Pilih tokoh Aceh yang paling layak diposisikan sebagai menteri dalam kabinet kita mendatang?. Dalam diskusi yang berkembang kemudian ternyata pertanyaan sederhana itu cukup sulit dicarikan jawabannya. Prof Hasbi ber-argumentasi bahwa fakta pudarnya pamor para menteri asal Aceh dalam kabinet yang ‘berkelanjutan’, menunjukkan ‘sesuatu’ yang harus dibenahi. Akarnya berkorelasi dengan soal kapasitas, visi dan mindset dalam menjejak perpolitikan di Aceh dan Nasional.
Pertanyaan kritis dan sensitif ini menarik karena dapat menyinggung harga diri dan identitas. Namun pertanyaan menjadi penting dan relevan dipertanyakan dalam kondisi ketika secara politik tidak stabil, secara ekonomi belum sejahtera, dan secara sosio-kultural, khususnya pendidikan masih tertinggal.
Padahal, tanpa bermaksud ber-apologis, kemasyhuran Aceh meninggalkan jejak banyak tokoh bervisi besar, sehingga tidak heran dalam rentang sejarah yang panjang, Aceh menjadi wilayah yang tidak mudah ter-provokasi dan tidak mudah ‘dijajah’, bahkan oleh Belanda di era kolonial yang ketika itu menemukan lawan sepadan dalam Perang Aceh yang panjang dan melelahkan.
Krisis Kepemimpinan
Sekedar menyebutkan nama dengan mudah dapat dilakukan. Lalu, apakah kapasitas dan visinya dalam membangun Aceh dan Indonesia sudah jelas?. Tentu saja maksud pertanyaan Prof Hasbi tidak sesederhana hanya sekedar ‘melemahkan’ kapasitas Acehnya sendiri. Pertanyaan tersebut, mengingatkan saya kepada pertanyaan Kishore Mahbubani, seorang Diplomat Karir di PBB asal India, yang menuang gagasannya dalam bukunya yang provokatif ’Bisakah Orang Asia Berpikir?’ (Can Asians Thinks?).
Dalam kerangka itu, sekalipun dapat menyinggung harga diri dan identitas, Mahbubani mencoba menggali akar masalah dengan mengaitkannya dengan persoalan mindset. Tentu saja, pertanyaan tendensius Mahbuhani, tidak dimaksudkan seratus persen untuk menjustifikasi, bahwa orang Asia sesungguhnya tidak bisa berbuat banyak dalam konteks menyumbang pemikiran yang dapat menciptakan trend atau kecenderungan ke arah perubahan yang lebih baik.
Bahkan karena sensitifnya pertanyaan ini, Mahbubani menjawabnya dalam tiga alternatif jawaban; Tidak, Bisa dan Mungkin. Menurutnya, kemungkinan jawabanya adalah mungkin. Mengapa? Karena kita akan menjawab ‘bisa’ jika bertolak dari harga diri dan identitas, atau mengatakan ‘tidak’ jika melihat fakta kondisi aktual. Sementara ‘mungkin’ menjadi sangat subjektif tergantung pihak mana yang akan dijadikan sasaran pertanyaan. Bahkan menurut Mahbubani, ketika kita bisa menemukan pertanyaan itu, maka itu tandanya kita sebenarnya mampu berpikir. (Mahbubani; x/8/2005).
Pertanyaan Mahbubani sebelas tahun lalu, setidaknya masih relevan dikaitkan dengan pertanyaan Prof Hasbi tersebut. Lagi-lagi dalam konteks sebagai introspeksi atau sebut saja otokritik atas apa yang dibahasakan oleh sebagian pengamat sebagai ‘krisis kepemimpinan’.
Kehadiran sosok yang disebut pemimpin yang menggawangi seluruh persoalan pembangunan di Aceh saat inipun, masih dalam  balutan polemik. Dengan kata lain dipimpin oleh ashoe lhok (penduduk asli tempatan) yang paham seluk beluk ‘isi dalam’ Aceh dengan ‘rasa memiliki’ yang lebih tinggi dari pendatang, sebagaimana diimpikan Hasan Tiro, ternyata belum memberikan jaminan. Baik visi maupun platform (jika ada) belum mampu mengakomodir aspirasi rakyat. Meminjam istilah Teuku Kemal Pasya, bahwa frasa menjadikan Aceh seperti Brunei Darussalam dan Singapura tidak lebih dari sekedar politik ‘goyang lidah’. Bahkan nyaris tidak punya pola, visi dan perencanaan pembangunan.
Tak sedikit kritik yang ditujukan langsung atas kepemimpinan Aceh saat ini, dalam kerangka membangun sebuah Aceh Baru sebagaimana disodorkan Konsorsium Aceh Baru dalam pilihan fase ‘Aceh Lama’, ‘Aceh Baru’, bahkan ‘Aceh Hancur’ dengan frasa dan pemahaman penting mencari arah pembangunan Aceh masa depan sebuah negeri Madani.
Kepemimpinan Zikir saat ini, semestinya mewakili sebuah gagasan baru, akan dibawa kemana Aceh dalam 5, 10 bahkan 25 tahun mendatang. Tentu saja dengan visi pembangunan ala Zikirnomics-nya. Meminjam secara ‘membabi buta’ istilah yang sudah lebih dulu dipopoluerkan, Widjojonomics dan Habibienomics serta Mualemnomics (serambi;18/1/15).
Dibawah kepemimpinan dua sekawan dari satu rumah yang belum ‘se-ide’, Aceh memang berada dalam posisi serba salah. Kewajiban dan tanggungjawab Zikir adalah, both of them (kedua-duanya), tidak  parsial alias sebelah menyebelah. Dalam konteks bahwa ketika kelemahan atas kepemimpinan muncul, menjadi tanggungjawab kolegial keduanya. tidak ada yang berdiri ’diluar’ dan ‘didalam’. Bahwa persoalannya adalah buntunya komunikasi, menjadi persoalan yang harusnya dijembatani keduanya.
Persaingan Politik
Kebuntuan itu nyata bentuknya, manakala indikatornya suhu politik jelang kontestasi 2017, yang ditataran publik dibaca sebagai ‘persaingan politik menuju Aceh-1’. Tak hanya pembangunan yang kemudian belum menemukan arah jelas, bahkan di tingkat pembahasan APBA ‘nyaris’ tidak mendapat perhatian yang urgen dan genting. Tentu saja persoalan mendasar ini, dalam konteks pertanyaan Prof Hasbi di awal dapat menjadi indikator bahwa, sekalipun banyak sosok yang ‘bersedia’ membangun Aceh dan Indonesia sekalipun, namun yang bervisi jelas masih harus dilanjutkan dengan berbagai pertanyaan lain untuk menemukan sisi kepemimpinannya lebih kongkrit. Apakah pemikiran dan visinya telah menjadi rujukan dalam ruang kebijakan secara regional, atau bahkan nasional?. Jika pertanyaan dasar ini belum terjawab, artinya ‘tokoh’ kita masih ‘jago kandang’?.
Francis Fukuyama dalam The End of History, menyatakan bahwa persoalan kapasitas itu ditunjukkan pada kemampuan berorganisasi secara demokratis, terutama organisasi ‘skala besar’. Dimana hal itu sangat ditentukan oleh apa yang disebutnya sebagai modal sosial (social capital) yang ber-intikan kepercayaan (trust) yang berperan sebagai perekat organisasi dan kegotong-royongan. Hanya sedikit bangsa-bangsa di dunia yang memiliki modal sosial yang tinggi (high trust society) seperti halnya Jepang dengan etosnya yang luar biasa.Â
Adapun bangsa yang tipis modal sosialnya (low trust society) akan sulit mencapai kemajuan, kecuali dengan otoritarianisme atau sistem administrasi dan sistem hukum yang keras. Seperti halnya ditunjukkan oleh China yang saat ini menjadi kekuatan utama dunia. Sebuah Pemerintahan membutuhkan sistem administrasi publik, meski bermodal tipis sekalipun.Â
Dengan demikian, demokrasi yang terbangun berdasarkan modal sosial yang kuat adalah sebuah indikator kecerdasan atau kemampuan berpikir. Sedangkan pembangunan dengan otoritarianisme adalah sebuah cara yang tidak cerdas dan bisa menimbulkan bencana. (mahbubani; xii/8/2005).
Dalam konteks kepemimpinan dan krisis kepemimpinan yang melanda saat ini, Aceh membutuhkan tidak hanya sekedar figur atau tokoh, namun lebih krusial lagi yang memiliki visi dan perencanaan pembangunan yang jelas. Daftar ‘pekerjaan rumah’ yang memenuhi nanggroe kita saat ini sudah akut dan nyaris tanpa solusi jelas. Mulai dari bencana lingkungan yang silih berganti diseantero Aceh, pendidikan yang terlempar keurutan bawah, APBA macet, hingga kemiskinan yang bertambah.
Kita menunggu solusi yang tidak hanya bersifat verbal, slogan, retorika atau janji politis, sekedar Aceh Kerja!, Kerja! dan kerja!. Lebih jauh dan lebih kongkrit harus dengan langkah-langkah menuju persatuan. Mahbubani, menawarkannya dengan cara sosio-nasionalisme, sosio demokrasi serta demokrasi politik dan demokrasi ekonomi berdasarkan keyakinan kepada Ketuhanan.
Pilihan ke-syaria’tan kita adalah sebuah pilihan penting yang tidak hanya mewakili sebuah hubungan Hablum Minannas, tetapi juga juga Hablum Minallah. Ini menjadi ‘modal dasar’ bagi siapapun yang ‘bersedia’ memimpin Aceh untuk meyakini komitmen tersebut dan mengantarkan kita menuju Aceh yang lebih baik. [hans-2016]
Â
hanif sofyan
Magister Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Tanjung selamat, Aceh Besar
acehdigest@gmail.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI