Kabar akan ada demo buruh sudah menyebar. Sebagian buruh tampak tenang saja. Mereka tetap bekerja seperti biasa. Namun sebagian buruh lainnya, sudah tampak kasak kusuk, bicara kesana kemari pada setiap buruh, tentang rencana demo itu.Â
Rencana demo buruh tinggal sebulan lagi. Tapi mendadak, riuh rendah persiapan justru semakin redup. Tak ada perbincangan kasak kusuk lagi diantara para buruh. Mereka justru saling mengabarkan, Prasto pimpinan mereka, sakit parah.
Sudah sebulan, sakit Prasto tak kunjung sembuh. Semua rencana aksi buruh tinggal rencana. Aksi buruh menuntut kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan itu terancam buyar. Akhirnya rencana aksi demo, batal.Â
Prasto sakit parah. Dikabarkan karena terserang Covid-19. Walaupun sakitnya tiba-tiba dan semakin lama semakin parah, tak ada yang bisa membantahnya. Kabar tersiar ke seluruh buruh perusahaan. Prasto, sakit parah karena Covid-19. Kabar itupun tersiar sampai ke jajaran bos perusahaan. Namun setelahhya, terlihat aksi diam para bos perusahaan.Â
Tak ada satupun komentar keluar dari mulut para bos perusahaan. Namun, aksi donasi para bos perusahaan mulai terlihat. Diikuti oleh para buruh pula. Terkumpul donasi hingga mencapai hampir seratusan juta. Meski sakit Prasto, semakin menjadi-jadi. Prasto, mengalami sekarat. Legiyo, sahabat karib Prasto, berinisiatif membawa Prasto ke kampungnya. Rencana Legiyopun diiyakan oleh Tuminah, istri Prasto. Keesokan harinya, Legiyo dan Tuminah yang sedang hamil tua itupun turut serta pulang ke kampung halaman suaminya itu.Â
***
Tuminah istri Prasto, berteriak dan mengejan. Ia, yang hamil tua itu, menanti detik-detik kelahiran bayi mungilnya. Sang ibu, yang sedari tadi termenung di beranda, terhenyak. Sejurus kemudian, berlari ke kamar untuk menengok anak menantunya yang berteriak itu. Tuminah mengejan lagi, dan melahirkan seorang bayi mungil perempuan.Â
Tanpa dibantu bidan, sang ibu mertua menanganinya sendiri. Tuminah melahirkan dengan lancar, bayi mungil perempuan yang sangat cantik. Sore itu seperti dipenuhi bianglala, sehabis hujan yang masih menyisakan gemericiknya.Â
Di saat hampir bersamaan, Legiyo di kamar sebelah, tempat Prasto berbaring, juga berteriak.
" Innalillahi Wainnailahi Rajiun, Kang Prasto sudah pergi"
"Kang Prasto sudah tidak ada, Mbok.."
"Kang Prasto meninggal, Tum..".Â
Setengah menahan tangis, Legiyo berteriak kepada ibu dan istri Prasto. Beberapa detik setelah bayi perempuan mungilnya lahir, Prasto meninggal. Sore itu berduka, di tengah kelahiran bianglala, yang menghiasi langit, setelah hujan yang menyisakan gemericiknya.Â