Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arkeologi, Membincang Alat untuk Bekerja dan Alat untuk Berpikir

27 Juli 2021   19:09 Diperbarui: 28 Juli 2021   10:15 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Para arkeolog menemukan sekitar 500 artefak di situs Sanxingdui, China.| Sumber: Xinhua News/Twitter via Kompas.com

Para arkeolog, hari-hari ini sangat gandrung teknologi, untuk mengoptimalkan analisis arkeologinya. 

Metode georadar, penginderaan jarak jauh, lidar dan sebagainya adalah salah satu kecanggihan teknologi yang dimanfaatkan oleh para arkeolog. 

Selain itu, pengembangan peralatan laboratorium yang modern, yang memanfaatkan studi-studi perbatasan seperti arkeobotani, bioarkeologi, zooarkeologi, metalurgi dan sebagainya, adalah salah satu pendekatan laboratoris yang juga sangat berkembang dalam dunia riset arkeologi. 

Juga hal-hal yang bersifat kimiawi, analisis dating karbon C14 untuk pertanggalan, ataupun dating kimiawi lainnya. Pendek kata, dunia keilmuan arkeologi berkembang dalam penggunaan alat untuk bekerjanya. 

Kecanggihan teknologi itu, tentu saja menjadi keharusan dalam persaingan industri ilmu pengetahuan. Saya katakan industri, karena ilmu pengetahuan, bukan lagi semata-mata memproduksi informasi, ilmu, dan pengetahuan dalam kerangka akademik belaka. 

Ilmu pengetahuan kini telah menjadi produk industri yang satu sama lain akan saling berkaitan dan saling mendukung. 

Ilmu pengetahuan yang maju, di negara-negara super power seperti Amerika dan Tiongkok, sudah menjadi bagian dari persaingan global.

Lihat saja, karena produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan, Amerika dan Tiongkok, berlomba-lomba mendaratkan pesawatnya di Bulan dan planet Mars. 

Bahkan belakangan tersiar kabar, Tiongkok ingin membuat manusia mati menjadi hidup kembali. Semuanya, adalah hasil rekayasa dan produk ilmu pengetahuan. 

Barangkali dengan kecanggihan teknologinya, benar-benar kita akan bisa kembali ke masa lalu. Bukan hanya mengetahui informasi masa lalu, tapi juga mengalami masa lalu itu. 

Sebentar, daripada saya mulai ngelantur, sudahi perbincangan soal perang ilmu pengetahuan dan teknologi ini, yakin gakkan ada habisnya. Bagaimana mau habis, wong ini sementara terus berlangsung. 

Tapi soal ilmu pengetahuan dan teknologi, saya ingin membincangkan dua hal itu dan menempatkannya dalam bahasan arkeologi, yang diketahui sebagai ilmu yang memperbincangkan masa lalu. 

Arkeologi, sebagai ilmu pengetahuan tentu saja membutuhkan seperangkat alat untuk menghadirkan masa lalu. Jadi, untuk mengungkap masa lalu, arkeologi butuh tools, atau seperangkat alat. Alat itu adalah alat untuk bekerja, melakukan pekerjaan arkeologi. 

Melalui metode arkeologi, yang ketat dan disiplin, para arkeolog bekerja akan mengungkap masa lalu. Metode adalah tentang bagaimana alat dapat bekerja, tentang bagaimana mengoperasionalkan alat untuk bekerja. 

Namun, sebelum mengoperasionalkan alat supaya dapat bekerja, tentu para arkeolog berpikir, untuk tujuan apa alat atau tools itu dioperasionalkan. 

Disinilah dibutuhkan alat untuk berpikir? apa itu? Yaitu dalam pemahaman saya, alat untuk berpikir itu disebut fenomena. Ini soal kaidah keilmuan. 

Soal filsafat ilmu juga sebenarnya, tidak pernah bisa lepas dari soal itu. Soal epistemologi, memahami ilmu untuk ilmu. Inilah sebenarnya alat untuk berpikir. 

Ilustrasi alat georadar sebagai alat untuk bekerja dalam penelitian arkeologi. Sumber :https://www.bgr.bund.de
Ilustrasi alat georadar sebagai alat untuk bekerja dalam penelitian arkeologi. Sumber :https://www.bgr.bund.de

Sebenarnya, semua disiplin ilmu membutuhkan tools, atau alat untuk berpikir, atau mengembangkan pemikirannya. Yaitu, memahami fenomena dalam kaidah epistemologi, juga melahirkan postulat, kebenaran yang semula jadi. 

Tapi, yang paling penting saya singgung di sini adalah sumber pengetahuan (epistemologi) dan fenomena, sebagai satu kesatuan dalam kerangka melahirkan pengetahuan yang mewujud.

Jadi keduanya menjadi alat untuk berpikir. Melihat sumber pengetahuan sebagai sebuah yang tampak, hadir, bercahaya dan dapat dijejaki dan dijajaki. Karena dari situlah, metode dapat dihadirkan, diciptakan, dilahirkan. 

Sik, daripada semakin berat, yang saya sendiri juga tidak paham. Kita batasi atau kita sudahi saja bahasan filsafat ilmu, yang njlimet-njlimet. Biarlah itu jadi ranah profesor saja. 

Saya ingin membicang arkeologi saja, dalam ranah membincangkannya dalam takaran alat untuk bekerja dan alat untuk berpikir membangun kebudayaan, dalam rumah besar Keindonesiaan. 

Baik, disinilah penting para peneliti, khususnya arkeolog, karena arkeologi bagi saya sebuah ilmu yang seksi, seperti perempuan yang sedang mandi di tepi telaga. Atau sedang bermandi hujan di bawah senja. Selalu menarik untuk ditelisik. 

Kenapa? Karena sesuatu yang usang, tentang kelampauan, namun selalu dicari dan diperbincangkan. Bahkan di negara-negara maju, dunia arkeologi menjadi primadona kalangan muda dan menjadi buruan para milenial untuk bisa mengambil studi itu dan menjadi arkeolog esok atau lusa. 

Intinya, saya ingin mengurai soal bagaimana arkeolog dan obyek arkeologi itu bisa menyatu, menciptakan ruh pengetahuan, peradaban, dan kebudayaan.

Tentu, dalam hal ini, para arkeologi harus mampu menangkap fenomena peradaban yang tersirat dari apa yang tersurat dari data-data material budaya yang mati dan bisu, untuk mengungkapkan dirinya dan kontekstualisasinya, atau yang berhubungan dengannya. 

Sejauh ini, kiprah arkeologi untuk membangun kebudayaan dalam rumah besar Keindonesiaan, terus bergerak, merayap, dan merangsek ke dalam perbincangan tentang pembangunan nasional. 

Meski selalu saja, ruh kebudayaan tidak serta merta menjadi sumber, menjadi intisari kehidupan pembangunan bangsa. Sepertinya inilah yang sedang diperjuangkan oleh para arkeolog, yang kata Ayu Diahastuti menyebutnya sebagai penilik masa. 

Frasa kata, yang tidak saja memiliki arti sebagai pekerjaan orang-orang yang ingin melihat waktu dan masa dalam proses perjalanan yang menyejarah. 

Namun juga, tentang memaknai perjalanan peradaban dalam konteks ruang dan waktu, untuk menjadi hidup, merupa nafas, sumber hidupnya kebudayaan dan kebangsaan. 

Okey, kita kembali bicara soal alat untuk bekerja dan alat untuk berpikir. Dua hal dalam satu tarikan nafas sebenarnya, karena arkeologi, dalam perannya untuk mengungkap kebudayaan, membutuhkan alat untuk bekerja. Yaitu penggunaan teknologi sebagai bagian dari metode, yaitu cara untuk mengoperasionalisasikan tools atau alat itu sendiri. 

Namun bagaimana teknologi dan metode dihadirkan, dilahirkan tentu membutuhkan alat untuk berpikir, yaitu melihat fenomena dan sumber pengetahuan, menjadi satu-kesatuan yang mengkonstruksi pemikiran dalam bentuk kerangka konseptual, atau kerangka pemikiran. 

Dari kerangka pemikiran inilah, lahir metode dan mengembangkan metodologi, yaitu ilmu tentang metode, begitu ungkapan sederhananya. 

Sebentar, supaya tidak terjebak ke istilah-istilah yang berat, baik kita kembali bahasan yang sebenarnya sederhana, soal hal ihwal arkeologi dalam membincang alat untuk bekerja dan alat untuk berpikir. 

Begini gampangnya, saya langsung ke contoh-contoh penerapan saja ya. Alat-alat laboratorium, teknologi penangkapan obyek baik di bawah tanah, melalui georadar, maupun teknik penginderaan jauh melalui satelit, itu adalah alat untuk bekerja. Digunakan arkeolog untuk bekerja memperoleh informasi dan data obyek arkeologi. 

Demikian, juga seperangkat peralatan laboratorium adalah alat untuk melakukan analisis arkeologi, cara arkeolog bekerja untuk melakukan analisa terhadap data-data arkeologi, sesuai kebutuhan yang akan diungkap atau dijelaskan. 

Lalu, bagaimana dengan alat untuk berpikir? Penjelasannya begini, bagaimana cara berpikir seorang arkeolog dari pengamatan terhadap data-data arkeologi dan konteksnya, atau yang berhubungan dengan data arkeologi itu sendiri, seperti lingkungan, kawasan, lanskap dan sebagainya. 

Dari pengamatan itu, arkeolog membutuhkan seperangkat alat berpikir, untuk mengungkap fenomena, apa yang tampak itu sebagai bagian dari sumber pengetahuan.

Peralatan laboratorium, tidak pernah akan digunakan, kalau arkeolog tidak membangun kerangka pemikiran, untuk dan bagaimana alat laboratorium itu digunakan.

Jadi sebelum arkeologi bekerja menggunakan alat dan metode, maka kerangka pemikiran atau bisa saya sebut sebagai tools berpikir, untuk menangkap fenomena. 

Semakin canggih kerangka pemikiran dibangun, maka semakin rumit metode dan alat yang digunakan untuk bekerja melalukan penelitian dan mengungkap misteri kebudayaan. 

Jadi, selain pentingnya menguasai kecanggihan teknologi, maka kecanggihan kerangka berpikir juga penting, bahkan yang paling utama. Karena kerangka pemikiran inilah yang akan melahirkan metode penelitian, menentukan, alat apa yang akan digunakan untuk bekerja dalam arkeologi. 

Sebagai introspeksi saya melihat, kalangan arkeologi Indonesia, sejauh ini sangat demam menggunakan alat-alat (tools) canggih dalam bekerja arkeologi. Namun, kerangka pemikiran atau alat berpikir untuk menangkap isu dan fenomena kebudayaan, tidak seiring dengan alat untuk bekerja yang digunakan. 

Kerangka pemikiran yang besar tentang kebudayaan, tentang Keindonesiaan berjati diri, masih ketinggalan dengan kecanggihan alat untuk bekerja. 

Alhasil, dengan kecanggihan peralatan dan teknologi penelitian yang digunakan, belum cukup untuk mengungkap kebesaran-kebesaran peradaban Nusantara secara proporsional dan menempatkan dalam kancah persaingan global. 

Kita masih tertatih, satu sisi terus menerus melakukan penelitian dengan alat-alat canggih, namun di sisi lain, kerangka pemikiran yang dibangun, masih tentang sejarah budaya masa lampau. Kerangka pemikiran yang masih melihat sejarah kebudayaan secara kronologis dan terpisah-pisah. 

Meskipun daya jangkau pikiran saya belum mampu melampaui batas-batas itu, namun saya berharap, arkeologi tidak hanya menemukan masa lalu. 

Tidak saja menemukan sejarah dan kebudayaannya di masa lampau yang menyejarah, namun juga menjadi landasan yang fundamental. 

Menunjukkan kebesarannya, dan bisa menduplikasi, mereplikasi kebesaran itu dalam kerangka pemikiran yang dinamis, adekuat sebagai konstruksi untuk peradaban di masa depan. 

Contoh-contoh sederhananya, dapat saya uraikan misalnya, kita menemukan jejak peradaban sebagai bangsa yang kuat dari kemampuan mengolah metal, hal itu bisa menjadi konstruksi untuk membangun bangsa yang lebih mandiri dalam dunia pertambangan. 

Arkeolog menemukan, jejak pertanian yang maju, baik berdasarkan data di bawah tanah, maupun di permukaan. Maka arkeolog membangun kerangka pikir, bagaimana menemukan solusi ketahanan pangan berdasarkan pengalaman masa lalu, dalam konstruksi kekinian. 

Arkeolog menemukan jejak-jejak katastropik atau kebencanaan purba, teliti sesuai kerangka pikir, bagaimana masyarakat dulu memiliki ketahanan, adaptasi dan mitigasi terhadap bencana. 

Dengan kerangka pikir demikian, arkeolog akan menggunakan alat teknologi dan analisis yang canggih, semua itu bisa terjawab. Bukan hanya mengungkap sejarah dan budaya, namun juga mengungkap sari pati peradaban. 

Demikian, tulisan di atas hanyalah renungan saya pribadi, yang mungkin ketinggalan nalar, konsep dan informasi kekinian. 

Kalaupun saya yang ketinggalan, minimal jadi upaya mengingatkan lagi. 

Salam hormat 

Mas Han. Manado 27 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun