Sebentar, daripada saya mulai ngelantur, sudahi perbincangan soal perang ilmu pengetahuan dan teknologi ini, yakin gakkan ada habisnya. Bagaimana mau habis, wong ini sementara terus berlangsung.Â
Tapi soal ilmu pengetahuan dan teknologi, saya ingin membincangkan dua hal itu dan menempatkannya dalam bahasan arkeologi, yang diketahui sebagai ilmu yang memperbincangkan masa lalu.Â
Arkeologi, sebagai ilmu pengetahuan tentu saja membutuhkan seperangkat alat untuk menghadirkan masa lalu. Jadi, untuk mengungkap masa lalu, arkeologi butuh tools, atau seperangkat alat. Alat itu adalah alat untuk bekerja, melakukan pekerjaan arkeologi.Â
Melalui metode arkeologi, yang ketat dan disiplin, para arkeolog bekerja akan mengungkap masa lalu. Metode adalah tentang bagaimana alat dapat bekerja, tentang bagaimana mengoperasionalkan alat untuk bekerja.Â
Namun, sebelum mengoperasionalkan alat supaya dapat bekerja, tentu para arkeolog berpikir, untuk tujuan apa alat atau tools itu dioperasionalkan.Â
Disinilah dibutuhkan alat untuk berpikir? apa itu? Yaitu dalam pemahaman saya, alat untuk berpikir itu disebut fenomena. Ini soal kaidah keilmuan.Â
Soal filsafat ilmu juga sebenarnya, tidak pernah bisa lepas dari soal itu. Soal epistemologi, memahami ilmu untuk ilmu. Inilah sebenarnya alat untuk berpikir.Â
Sebenarnya, semua disiplin ilmu membutuhkan tools, atau alat untuk berpikir, atau mengembangkan pemikirannya. Yaitu, memahami fenomena dalam kaidah epistemologi, juga melahirkan postulat, kebenaran yang semula jadi.Â
Tapi, yang paling penting saya singgung di sini adalah sumber pengetahuan (epistemologi) dan fenomena, sebagai satu kesatuan dalam kerangka melahirkan pengetahuan yang mewujud.
Jadi keduanya menjadi alat untuk berpikir. Melihat sumber pengetahuan sebagai sebuah yang tampak, hadir, bercahaya dan dapat dijejaki dan dijajaki. Karena dari situlah, metode dapat dihadirkan, diciptakan, dilahirkan.Â