Sebuah rasa cinta memang harus ada keikhlasan di dalamnya
Berkecamuk hati Bramantyo dalam sebuah perpisahan yang tiba-tiba, di suatu senja di kota yang selama ini begitu menjadi tumpuan kebahagiannya.Saat usianya yang tak lagi muda. Paruh baya, di musim puber kedua.Â
Bram, begitu sapaannya, adalah lelaki paruh baya, yang mewakili sebuah rasa yang lama telah hilang. Dan tiba-tiba kini muncul kembali, lalu tiba-tiba terancam hilang pula.Â
Bramantyo, mencoba mengolah rasa yang lama hilang itu, agar bertahan lama dalam dirinya. Namun, tidak pada gadis pujaannya.Â
Rasa cintanya pada Sisca, yang seumuran dengan anaknya itu, sepertinya akan segera dipendam dalam-dalam dan hilang, hanya menjadi butiran debu yang diterbangkan angin.Â
Bram menyadari itu, lalu ia akan menemui nestapa, dan diapun sepertinya sudah bersiap.Â
Senja itu memang semakin temaram, dan ia sudah mulai beranjak menghiasnya dengan pelangi yang baru.
Atau sebaliknya selarik mendung mulai berkumpul, dan menggumpal, hingga saatnya hujan luruh ke bumi di tengah malam.Â
Bram sepertinya memang menyadari sedari awal perjumpaan dengan gadis yang ditemuinya di batas kota di bawah pelangi senja Minahasa.Â
Ya, di Minahasa, kota yang penuh warna bunga. Kota yang dingin di sebuah kaki gunung Lokon, Â Tomohon, yang dipenuhi rindang pohon.Â
Bram sepertinya berpikir, bahwa pertemuan itupun bukan atas kehendak dirinya, namun kehendak Tuhan. Dan jika ia kini harus berpisah, itupun karena sudah digariskan seperti itu adanya.Â