Mohon tunggu...
Wulan Saroso
Wulan Saroso Mohon Tunggu... Lainnya - educator, mompreneur, sosio developer

istri dan ibu, pendidik informal, mompreneur, sosio developer suka membaca, menulis, bikin kue, berbagi ilmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemarau Itu Menyakitkan (Belajar dari Bunga Bakung)

12 September 2021   10:31 Diperbarui: 12 September 2021   10:33 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu masa beberapa tahun yang lalu, kemarau cukup panjang dan terasa sangat kering. Hingga debit air sungai sangat menurun bahkan air tanah pun berkurang. Kala itu, tanaman bunga bakung di sudut halaman rumah kami, seperti hidup enggan mati pun tak mau. Ibu mertua yang menanamnya beberapa bulan sebelum kemarau datang. 

Ketika menanam umbinya beliau menggambarkan betapa indah bunganya bila tumbuh dan mekar. Saat itu yang ditanam hanya satu dan dua umbi. Lalu berjalan waktu di satu rumpun sempat ada yang berbunga setangkai, namun yang lain hanya keluar daunnya. Belum sempat berbunga mekar, kemarau pun datang.

Selama kemarau, daun-daunnya layu satu per satu. Kami mencoba rajin menyiraminya untuk membantu membuatnya bertahan, setidaknya daun-daunnya masih terlihat kuat. 

Namun apa daya, terik kemarau begitu kuat. Hingga akhirnya yang satu per satu daunnya mengering dan hilang. Hingga tak ada satu pun daun yang tampak untuk bertahan. Kami pun menganggap tanaman bunga bakung itu sudah mati.

Hingga kemarau pun berlalu....

Di penghujung kemarau, hujan turun sedikit demi sedikit intensitasnya. Kemudian seiring waktu curahnya pun bertambah. Hingga suatu pagi, saat membuka jendela kamar, aku takjub melihat rumpun batang kuncup bunga bakung tegak kokoh di sudut halaman depan rumah kami. Seingatku, sebelumnya sudut yang dulu ditanami tanaman bunga bakung yang daunnya mati dan hilang sama sekali.

Barulah kupahami. Kemarau yang begitu menyengat, terasa sangat menyakitkan baginya mempertahankan daun-daunnya untuk tetap eksis. Mungkin pilihan terbaik baginya adalah menggugurkan daunnya. Namun yang luar biasa, umbi-umbinya masih bertahan dan kuat di dalam tanah. 

Untuk sementara waktu eksistensinya hilang dan dianggap tiada. Namun ia tak peduli. ia yakin ada masanya ia akan tumbuh dan berbunga lagi. Maka ketika tiba waktunya, pancaran keindahannya begitu memukau.

Terkadang ada 'kemarau' dalam fase-fase kehidupan kita. Di saat itu kita merasa kering, terpuruk, susah, merana, tak berdaya, sendiri bahkan 'mati'. Namun tak akan pernah mampu ditolak, kemarau itu akan selalu datang dalam kehidupan. Karena ia datang pada hakikatnya untuk menguatkan kita. 

Seperti kisah bunga bakung yang mempertahankan diri dengan menguatkan umbi-umbinya di dalam tanah. Saat itulah Allah memberi kita waktu untuk menguatkan makna diri kita dalam kehidupan ini.

 "Tidaklah suatu musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah dan siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Attaghobun : 10)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun