Mohon tunggu...
Wulan Saroso
Wulan Saroso Mohon Tunggu... Lainnya - educator, mompreneur, sosio developer

istri dan ibu, pendidik informal, mompreneur, sosio developer suka membaca, menulis, bikin kue, berbagi ilmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembang Padang Ilalang

9 September 2021   10:03 Diperbarui: 9 September 2021   10:07 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keanggunan dan kebersahajaan sang ibunda mewujud nyata pada diri Fatimah. Sebagai anak seorang kepala negara, tak sedikitpun ia mendapat fasilitas hidup yang memadai. Suaminya juga tak mampu memenuhi penghidupan yang dari sisi ruang kehidupan manusia ia pun membutuhkannya. Hingga di suatu masa, ia merasa begitu penat. 

Pekerjaan rumah tangga terus berputar tak henti menjadi cerita kehidupannya. Maka ketika mendengar pasukan Muslim pulang dari peperangan membawa tawanan perang, ia berkeinginan meminta seorang untuk membantu pekerjaannya di rumah. Hanya saja, maksud hati itu tak berkesampaian ketika berhadapan dengan sang ayahanda. Walaupun akhirnya ia minta dukungan dari sang suami. Namun seperti dugaannya semula, ayahanda tak memenuhi apa yang pasangan itu minta.

Fatimah memahami benar maksud sang ayahanda. Tak ada keinginan ayahanda membuat berat kehidupannya. Atas dasar cinta yang begitu dalamlah, sang ayah sangat ingin menjaga putri kecintaannya selamat dari fitnah dunia. Hingga demi menyenangkan hati sang putri, Nabi pun bersabda padanya,"Wahai Fatimah, ada dosa yang tak bisa dihapus dengan sholat dan puasa tetapi dengan kerja dan menanggung beban keluarga." Tak kuasa hati Nabi melihat beban hidup ananda tercinta dan suaminya. Namun kecintaannyalah yang justru ingin mendidik ananda agar tak mengandalkan posisi ayahnya. Keistimewaan derajat ayahnya, tak otomatis berlaku bagi ananda. "Sedikitpun tak ada yang bisa kubebaskan dirimu dari Allah, wahai Fatimah." Begitu pesan sang ayahanda.

*****
Fatimah....
Bila ia mewujud di zaman sekarang, ia seorang wanita yang pada umumnya menyandang sebutan 'ibu rumah tangga biasa'. Tak ada yang khusus dan menarik pada kehidupannya. Sehari-hari ia berkutat di pekerjaan rumah tangga. Mengurus anak, memasak makanan, membereskan rumah. Tidak pula ia berjuluk pengusaha kaya layaknya sang ibunda. Apalagi singa betina podium yang lantang berbicara dari mimbar ke mimbar.

Fatimah...
Sosoknya tidak ada yang istimewa. Jangankan berharap memiliki pakaian indah. Rasulullah mendapati ananda dan suaminya hanya memiliki sepotong selimut yang dipakai untuk berdua. Bila ditarik menutup kaki, bagian kepala terbuka, bila ditarik ke atas bagian kaki tidak tertutup. Jangankan berharap perhiasan. Suatu hari sang Nabi terkejut mendapati ananda bergelang emas.

"Ini hadiah dari Abul Hasan," ujarnya. Sontak Nabi pun berkata,"Wahai Fatimah, senangkah engkau bila orang-orang mengatakan putri Nabi mengenakan gelang neraka?"

Tak berucap lagi, segera Fatimah melepas gelang itu dan menyuruh orang menjualkannya lalu uangnya ia pergunakan untuk membebaskan budak.

Fatimah...
Namun jangan tanyakan padanya apa arti kehidupan dan perjuangan. Sedari kecil ia mengenyam getirnya mendampingi ayahanda menghadapi cobaan demi cobaan. Sepanjang masanya tinggal di Madinah ia terlibat dalam membantu peperangan. Ia yang mempersiapkan kuda perang untuk suaminya. Namun kita bersama menyaksikan, ibu rumah tangga biasa itu salah satu dari empat wanita yang Allah jamin masuk surga tanpa hisabNya.

Fatimah...
Tak membutuhkan pengakuan eksistensi dirinya sebagai perempuan. Karena ayahandanya, suaminya, anak-anaknya bahkan dunia pun mengakuinya. Ia tahu benar apa kekuatan nilai dalam hidupnya, ia paham benar siapa dirinya. Ia tahu kelelahan demi kelelahan dalam titian hidupnya bukan kesia-siaan. Ia tahu konsekwensi pilihan hidup yang ia jalani. Tanpa perlu membandingkan dirinya dengan perempuan lain.

Fatimah Az Zahra...

Ia bunga bagi lelaki yang ada dalam kehidupannya. Dalam kesederhanaannya, ia perempuan yang paham hakikat dirinya.

Lalu, siapakah kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun