Mohon tunggu...
Wulan Nur Diani
Wulan Nur Diani Mohon Tunggu... Siswi Sekolah Menengah Atas

Suka menulis hal-hal acak sedari kecil.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Pria itu Sama Saja

10 Februari 2025   11:28 Diperbarui: 10 Februari 2025   11:56 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu itu sama aja ya kayak cowok lainnya," ucap sang puan diseberang meja sembari mengerutkan dahinya. Aku hanya menatapnya dengan tatapan yang sama---lelah dan frustasi---sembari berusaha menyusun kata dalam pikiran yang kosong melompong.

"Kamu bisa mikir gak sih sebenarnya? Aku tuh capek!" Kini wanita cantik dengan alis tebal yang selalu ku sanjung-sanjung kemolekannya menaikan nada suaranya setinggi bangunan restoran bintang lima yang selalu kami datangi setiap perayaan hari jadi.

Netraku berpaling sepersekian detik untuk menatap jam tangan kulit di tangan kiri ku---pekerjaan ku sebagai seorang budak kapitalis memaksaku menulis setiap saat---jam ternyata sudah menunjuk ke pukul sepuluh malam.

"Tuh 'kan... Kamu selalu aja ngecek jam. Kamu udah bosen ya jalan sama aku?" tanyanya dengan nada menuduh---meskipun dia tak akan pernah mengakuinya---sembari menatapku.

Aku harus menahan diri dari menghela napas; karena dia pasti menganggap itu sebagai sikap yang kasar. "Aku sibuk," jawabku singkat. "Atasanku udah ngomel-ngomel soal kerjaan kemarin. Besok juga aku harus siapin meeting---"

"Oh, jadi sekarang kerjaan lebih penting dari aku?" Damn it. Can this girl shut up at least for once? I swear to God I'll---

"Fine. Aku mau pulang sekarang. Kalo kamu masih beneran cinta sama aku, temuin aku di rumah besok malem." Mata lelahku terbuka lebar sedikit saat wanita itu memilih beranjak dan meninggalkan meja yang telah aku reservasi dengan susah payah.

Pandanganku mengarah ke makanan yang sudah jadi dingin. Sembari menghela napas yang se dari tadi aku tahan, tanganku merogoh ke saku celanaku dan meraih sekotak rokok dengan sisa beberapa batang didalamnya.

Rokok itu terhimpit antara bibirku sebelum ujungnya ku bakar. Tiap hirupan, tiap hembusan, aku tak sadar jam ternyata bergerak ke jam sebelas tanpa kehendak ku. Putung rokok bekas yang ke-lima itu aku injak dibawah sepatu kulitku sebelum aku beranjak pergi.

------------------

Aku tak pahan mengapa aku berujung sampai disini. Setelah seharian aku harus menghadapi si atasan keparat itu, kini aku harus siap dijadikan samsak kemarahan dari wanita yang sering ku sebut sebagai milikku.

Mungkin ini karena rasa cinta yang masih tersisa setelah bertahun-tahun berjalan bersama, atau mungkin karena rasa jengah yang telah membelenggu pikiranku; aku harus menemuinya hari ini juga.

Belum sempat buku jariku mengetuk pintu bercat putih itu, aku mendengar samar-samar derap langkah dari balik pintu yang seolah sudah tahu bahwa aku akan datang. Sesuai perkiraanku, pintu perlahan-lahan terbuka dan sosok cantik itu menyapaku dengan senyuman manisnya.

Aneh, pikirku. Biasanya wanita ini akan selalu mengerutkan dahinya dan mengerucutkan bibirnya yang mungil jika kami habis bertengkar. Apa mungkin dia sudah melupakan kejadian kemarin? Ya, memang seharusnya begitu. Tapi, aku tahu dia tak pernah begitu.

"Aku udah nunggu kamu dari tadi," ujarnya sembari meraih tanganku. "Kamu udah makan malem belum? Aku udah masak makanan favorit kamu, loh." lanjutnya sembari menarik ku perlahan masuk ke dalam rumahnya yang sedikit gelap.

"Mati lampu?" tanyaku singkat saat menyadari dia hanya menyalakan dua lilin di meja dan satu lampu di dapur. Dia hanya merespon dengen gelengan dan senyumannya yang semakin melebar; aneh.

"Ayo, duduk! Kamu mau minum apa? Kopi aja, ya. Aku lupa beli teh hijau kesukaanmu," jelasnya sembari menuntunku untuk duduk di salah satu kursi di dekat meja makan. "Oh, iya. Kamu mau kue? Aku sempet pesan cheesecake tadi siang." tawarnya yang membuatku hampir menaikan salah satu alisku.

"Gak usah, makasih." jawabku sembari menyicipi kopi yang sudah setengah dingin. Mungkin dia sudah menyiapkannya dari sebelum aku datang, maka dari itu kopinya sudah agak dingin.

"Tapi 'kan..." ujarnya sembari ragu-ragu dan menatapku dengan lekat-lekat. "Kamu mau buktiin kalo kamu beda dari yang lain." 

Kini kedua alisku terangkat dengan ekspresi setengah bingung dan setengah terperangah. "Maksudnya?" tanyaku setelah beberapa detik mencoba mencerna apa yang tengah ia maksudkan.

"Ini semua 'kan..." lanjutnya sembari menatap kearah makanan dan minuman di meja. "Makanan terakhir kamu." 

Kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya kini membuat tubuhku hampir kaku saking kagetnya. Mataku yang melebar menatapnya dengan bingung, berusaha mencari tahu apakah ia hanya bercanda belaka atau...

"Maksud kamu? Kamu tuh kenapa sih dari tadi?" tanyaku sembari tak sengaja menaikan nada bicaraku. Rasa jengah ini mulai menggerogotiku perlahan-lahan tapi pasti.

Mata sang puan menoleh lagi kearahku, memancarkan keseriusan dan juga perasaan aneh lain yang bisa ku rasakan dari balik bola mata bulatnya itu. "Aku cuman mau tahu... kamu sama atau beda sama yang lain."

Aku terus menatap mataya lekat-lekat, berusaha mencerna apa yang ia maksudkan se dari tadi. Sementara otak ku terus bekerja, aku justru merasa jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Tanpa sadar aku mulai bernapas lebih pendek dari biasanya, seolah sesuatu mencekik leherku perlahan.

"Apa... Apa yang..." kata-kata ku terpotong saat tubuhku jatuh lemas di atas lantai yang dingin. Hanya satu hal yang ku ingat; wajah dan senyumannya yang begitu bersinar di gelapnya ruangan itu.

------------

Tubuhku sakit. Kepalaku pusing. Semuanya gelap. Kenapa aku tak bisa menggerakan apapun termasuk ujung jariku? Kemana semua syaraf-syaraf dan darah yang mengalir dalam tubuhku? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Samar-samar ku lihat ruangan yang gelap dan suram. Mataku menyipit, berusaha melihat sesuatu; apapun. Netraku mulai bergerak perlahan, menyusuri ruangan aneh ini. Sampai akhirnya mataku melebar saat aku melihat tubuh yang terpaku di dinding ruangan.

Aku ingin berteriak, tapi bahkan aku tak bisa mengeluarkan rintihan perih sedikitpun. Mataku memerah dan membulat, melihat bagaimana tubuh itu menempel begitu saja di dinding. 

Awalnya ku kira dia masih hidup. Tapi begitu angin berhembus kencang meniup tubuh itu, aku merasa jiwa dan tubuhku hampir memisahkan diri. Tubuh orang itu seperti sehelai kain tanpa penyangga selain paku yang menancap di kedua bahu, perut, dan bahu. Itu jelas adalah kulit manusia utuh yang telah terpisah dengan tulang dan mungkin lemaknya; aku tak paham bagaimana itu terjadi.

Mataku perlahan menengok kearah sekitar lagi hanya untuk menyadari bahwa dari awal sekelilingku dipenuhi oleh tubuh tak berjiwa itu. Aku ingin berteriak meminta tolong, meminta ampun, meminta pertobatan kepada Tuhan yang selalu ku acuhkan sebelumnya. Apakah ini yang mereka sebut neraka? Apakah aku sudah di neraka?

Pintu diujung ruangan perlahan terbuka, membuatku hanya bisa menengok siapakah yang berjalan masuk ke dalam neraka ini. Senyuman manis dan mata bulat itu melihat kearahku; dia lah penjaga nerakanya.

"Maaf, ya. Aku kira kamu beneran beda..." ucapnya tanpa nada yang mencerminkan permintaan maaf itu sama sekali. "Ternyata isinya sama aja." lanjutnya dengan sebuah tawa kecil yang menggema.

"Kalau gitu... kamu bisa kenalan sama kaum mu yang lain dan tunggu disini dulu, ya." ujarnya sembari menunjukan sebuah tulang besar di tangannya. Aku bahkan tak mau tahu tulang siapa itu. 

"Doakan aku dapat yang betulan beda," lanjutnya dengan senyuman yang lebar. "Walaupun... semua pria sebenarnya sama saja."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun