Mohon tunggu...
Shri Werdhaning Ayu
Shri Werdhaning Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Brang Wetan

Anak Lumajang yang lahir di Bumi Lumajang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negeri Jawa dalam Catatan Tome Pires (Part II, End)

25 Juli 2019   12:26 Diperbarui: 25 Juli 2019   12:37 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Wanita yang menolak untuk membakar diri akan menenggelamkan diri atas keinginan mereka sendiri, diiringi musik dan pesta. Apabila suami yang meninggal merupakan orang penting atau bangsawan, maka para pria dan wanita yang ingin mengikutinya akan membunuh diri menggunakan keris, begitu juga dengan seseorang yang ingin mati mengikuti raja. Sedangkan orang-orang biasa akan bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di lautan, atau membakar diri.

Ada beberapa poin penting yang harus digaris bawahi, yaitu perbedaan cara bunuh diri apabila yang meninggal seorang raja, bangsawan,dan orang penting dengan rakyat biasa. Agaknya ada sedikit kebingungan yang dialami oleh Tome Pires ketika menuliskan hal ini sehingga Pires menuliskan penjelasan lebih lanjut pada bagian terakhir. 

Cara bunuh diri ketika melaksanakan Bela Pati di sini disebutkan dengan menusuk diri dengan keris, membakar diri, dan menenggelamkan diri di lautan. Jadi apabila di masa sekarang ada yang mendengar kisah abdi raja pada masa Majapahit mengikuti kematian raja dengan cara gantung diri, cerita tersebut patut dipertanyakan.

Pertapa di Jawa

Pertapa berarti orang yang taat seperti beguines. Ada kurang lebih 50.000 pertapa di Jawa, dengan aliran berjumlah tiga atau empat. Sebagian dari mereka menolak makan nasi atau minum anggur, mereka semua perjaka dan tidak mengenal perempuan. Mereka mengenakan tata rambut tertentu sepanjang tiga kaki yang melengkung seperti tongkat uskup. 

Benda ini diletakkan di atas kepala mereka dan dihiasi dengan lima bintang berwarna putih, bahan dari benda ini menyerupai saringan dari rambut kuda hitam. Para pertapa ini juga dipuja oleh orang-orang Moor yang sangat percaya kepada mereka. Para Moor ini memberinya sedekah dan mereka akan sangat bahagia jika pertapa ini berkunjung ke rumah-rumah mereka. 

Mereka tidak makan di dalam rumah siapapun, melainkan di luar pintu. Berdasarkan aturan, mereka berjalan berkelompok dua hingga tiga orang, hampir tidak pernah sendirian. Orang-orang tidak boleh menyentuh topi-topi tinggi para  pendeta karena kesakralannya.

Tome Pires menambahkan kesaksiannya yang pernah menyaksikan sendiri, bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali, rombongan sepuluh atau dua belas pertapa di Negeri Jawa.

Pertapa Wanita

Banyak di antara wanita Jawa yang tidak menikah dan perawan. Mereka membangun rumah di pegunungan dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Beberapa orang lainnya memutuskan untuk menjadi pertapa setelah kehilangan suami pertamanya--mereka ini menolak untuk membakar diri-. Kabarnya, jumlah mereka di Jawa sangat banyak, kemungkinan besar ada lebih dari 100.000 wanita. Mereka hidup dalam kesucian hingga mati. Mereka mmembangun rumah-rumah mereka di tempat terpencil. Para pertapa wanita, seperti halnya pertapa laki-laki, meminta makanan dengan berkah Tuhan sebagai balasan.

Sopan Santun di Jawa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun