Mohon tunggu...
wulanabidatulkhoiroh
wulanabidatulkhoiroh Mohon Tunggu... Mahasiswi

saya mahasiswi semester 6 prodi hukum pidana islam, fakultas syari'ah dan hukum,di universitas islam negeri sunan ampel surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mediasi China Untuk Hamas-Fatah: Antara Diplomasi dan Prinsip Non-Intervensi dalam Hukum Internasional

25 Mei 2025   11:35 Diperbarui: 25 Mei 2025   11:31 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perwakilan Hamas Mussa Abu Marzuk (kanan), menandatangani dokumen saat Menteri Luar Negeri China Wang Yi (tengah) dan perwakilan Fatah, Mahmoud al-Alo

Ketika dua faksi Palestina yang telah bermusuhan selama hampir dua dekade Hamas dan Fatah duduk bersama di Beijing untuk menandatangani deklarasi rekonsiliasi nasional, dunia menyaksikan sebuah fenomena menarik dalam praktik hukum internasional kontemporer. China, sebagai negara ketiga, berhasil memfasilitasi dialog antara dua kelompok yang sejak 2007 terlibat dalam perpecahan politik yang mendalam. Namun, tindakan mediasi ini mengundang pertanyaan fundamental: di manakah batas antara diplomasi yang sah dan intervensi yang dilarang dalam hukum internasional?

Prinsip Non-Intervensi sebagai Fondasi Hukum Internasional

Untuk memahami dinamika hukum di balik mediasi China, kita perlu terlebih dahulu memahami prinsip non-intervensi yang menjadi salah satu pilar utama hukum internasional modern. Prinsip ini secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 2 (7) Piagam PBB yang menyatakan bahwa "tidak ada ketentuan dalam Piagam ini yang memberikan wewenang kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk campur tangan dalam urusan yang pada dasarnya berada dalam yurisdiksi domestik suatu negara."

Lebih lanjut, Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antar Negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Resolution 2625 tahun 1970) mempertegas bahwa setiap negara memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memilih sistem politik, ekonomi, sosial, dan budayanya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain dalam bentuk apa pun.

Namun, prinsip ini bukanlah aturan yang kaku dan mutlak. Dalam praktiknya, hukum internasional mengakui beberapa pengecualian yang sah, termasuk mediasi dan good offices (jasa baik) yang diberikan atas persetujuan para pihak yang bersengketa.

https://www.instagram.com/p/C9ynbaOylxc/?igsh=YTg1MmJ6OXB4eGJp
https://www.instagram.com/p/C9ynbaOylxc/?igsh=YTg1MmJ6OXB4eGJp

Mediasi sebagai Instrumen Penyelesaian Sengketa yang Sah

Tindakan China dalam memfasilitasi dialog Hamas dan Fatah dapat dikategorikan sebagai mediasi diplomatik, yang secara hukum internasional merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa damai yang diakui dalam Pasal 33 Piagam PBB. Pasal ini secara spesifik menyebutkan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian yudisial, resor ke badan atau pengaturan regional, atau cara-cara damai lainnya pilihan mereka sendiri.

Yang membuat mediasi China ini berbeda dari intervensi yang dilarang adalah unsur persetujuan. Baik Hamas maupun Fatah secara sukarela datang ke Beijing dan berpartisipasi dalam perundingan selama tiga hari. Tidak ada unsur paksaan atau tekanan yang melanggar kedaulatan Palestina sebagai entitas politik. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ditetapkan dalam Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1907, yang membedakan antara mediasi yang diinginkan dengan intervensi yang dipaksakan.

Konteks Khusus Status Palestina dalam Hukum Internasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun