Mohon tunggu...
D Wuala Tanggopu
D Wuala Tanggopu Mohon Tunggu... Administrasi - Murid

Murid kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kata 'Terima Kasih' Yang Indah

30 Mei 2012   11:54 Diperbarui: 4 April 2017   17:18 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13383433271954082283

Entah sejak kapan kata ‘terima kasih’ diciptakan dan menjadi bagian kehidupan sosial orang Indonesia dan rumpun Melayu. Sebagai sebuah kata kesantunan dan ungkapan untuk menyatakan rasa syukur yang terkait dengan kebaikan, pertolongan yang kita terima dari orang lain, kata ‘terima kasih’ memerlihatkan kehalusan budi dan keindahan laku sebuah peradaban.

Dalam perkembangannya kata ‘terima kasih’ lebih sering digunakan sebagai bagian sopan-santun dibanding mewakili makna yang dikandungnya. Karena itulah ketika seseorang benar-benar mengungkapkan rasa syukur atas bantuan dan kebaikan yang diterimanya dari orang lain, kata ‘terima kasih’ yang diucapkan akan disertai energi terharu yang jika cukup peka akan tersaksikan di dalam matanya dan terasakan dalam getaran suaranya. Kadang pula orang sampai harus menyatakan penegasannya setelah ‘terima kasih’ yang biasa seperti menambahkan: “serius, terima kasih sekali atas bantuannya,” atau “betul-betul terima kasih kawan, saya tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada dirimu.” Lewat penegasan ini, orang ingin membedakan antara ‘terima kasih’ yang biasa, yang sekadar kesantunan sikap dengan ‘terima kasih’ yang sungguh-sungguh ungkapan syukur atas kebaikan dan pertolongan yang diterimanya.

Jika Anda pernah membaca sebuah novel berjudul Scar of David, Scar of Palestine karangan Susan Abulhawa, versi bahasa Indonesianya terbitan Hikmah 2009, niscaya mendapatkan sebuah detil pada halaman 279, yang karena sungguh menarik saya tampilkan disini:

“Terima kasih,” jawabku, tidak yakin akan respons Amerika yang pantas terhadap antusiasmenya yang murah hati. Di dunia Arab, ucapan terima kasih adalah bahasa sendiri. “Semoga Allah memberkahi tangan yang memberiku hadiah ini”; “Kecantikan ada di matamu yang menganggapku cantik”; “Semoga Tuhan memperpanjang umurmu”; “Semoga Allah tidak pernah menolak doamu”; “Semoga makanan berikutnya yang kaumasak bagi kami adalah pada pernikahan putramu,…kelulusan putrimu…kesembuhan ibumu”; dan seterusnya rangkaian tanpa akhir berisi apresiasi yang penuh doa. Berasal dari budaya macam itu, aku selalu merasa bahwa ‘terima kasih’ saja adalah ekspresi tak mencukupi yang membuat suaraku terdengar kikir dan tidak tahu terima kasih. 

Pada beberapa bahasa Ibu, seperti bahasa Padoe, Mori Atas dan Mori Bawah kata yang digunakan adalah ‘tarima kasih.’ Kata tersebut jelas adalah serapan dari bahasa Melayu/Indonesia. Kata ini tidak lahir dalam masyarakat karena menurut beberapa orang tua, ketika itu tolong menolong adalah bagian keseharian, sesuatu yang lumrah, yang tidak spesial sampai perlu menciptakan sebuah kata khusus untuk mengungkapkannya. Jika saat ini ditolong, besok kemungkinan akan menolong, lusa akan menolong lagi dan seterusnya, dalam siklus saling membantu yang dianggap lumrah, harus dan biasa, sewajar orang harus minum air ketika haus dan makan jika lapar.

Untuk mengungkapkan perasaan bersyukur atas kebaikan orang lain yang diterima, kalimat berikut akan mengiringi perasaan tersebut: “Kembuanoka karo mpompehawa komiu ai Ue – Semoga Anda selalu dalam lindungan kebaikan Tuhan”; “Kembuano ka kano melai penaomu – Semoga Anda panjang umur”; “Kembuano ka ikomiu moroso mpihe – Semoga Anda selalu sehat”; “Kembuano kano Umboro ai Ue mowungge sala henu moiko ai laro raha miu – Semoga Tuhanlah yang akan selalu memberikan berkatNya dalam rumah Anda” dan seterusnya. Kadang pula hanya ucapan doa berkat tersebutlah ‘terima kasih’nya.

Memahami kata ‘terima kasih’ dan makna berat yang disandangnya, memang menciptakan sedikit anomali. Ketika ringan diucapkan untuk kepatutan dan kesantunan, makna sesungguhnya kata tersebut tidak hadir lewat ucapan. Tetapi bukan berarti kata ‘terima kasih’ sebagai bagian dari kesantunan dan kepatutan tidak perlu. Seperti dalam surat menyurat atau kata sambutan atau bagian percakapan yang dibiasakan untuk memperhalus pengungkapan. Karena hal-hal seperti itu adalah bagian dari halusnya sebuah peradaban, meskipun dalam masyarakat yang memahami siklus tolong menolong yang tidak berhitung kebaikan, kata tersebut dianggap pemborosan aksara.

Pengertian ‘terima kasih’ yang sesungguhnya lahir dari getaran perasaan ketika nurani kita tersentuh oleh kebaikan, pertolongan yang diberikan oleh orang lain kepada kita, yang kadang diwakili oleh pandangan mata berkaca-kaca, genggaman tangan erat dan getar suara yang lahir dari kesungguhan perasaan. Itulah esensi sejati dari kata ‘terima kasih’. Atau seperti dalam novel Scar of David nya Susan Abulhawa atau dalam lingkungan masyarakat Padoe, Karunsi’e dan Tambe’e dulu sekali, sebelum kata ‘terima kasih’ diadopsi, doa berkat untuk orang lain adalah sesedikitnya yang bisa diberikan untuk menyatakan makna bersyukur atas kebaikan dan pertolongan yang didapatkan darinya.

Karena dulu sekali, sebelum materialisme dan kepemilikan individu dianggap sangat penting, orang tidak pernah berhitung kebaikan. Saat orang tidak berhitung kebaikan, segala kebaikan adalah tulus. Saat segala kebaikan tulus adalah hal lumrah, kata ‘terima kasih’ hampa makna. Saat hampa makna, kata itu hanya gabungan dari kata terima dan kasih. Saat hilang makna, kata itu hanya sekadar gabungan aksara.

Jika suatu saat Anda berhutang kebaikan dan nurani Anda begitu bersyukur atas kebaikan yang Anda terima tersebut, sebuah anugerah, yang atasnya meluap sebuah terima kasih, itulah ‘terima kasih’. Atau seperti tokoh Amal dalam novel Scar of David, ‘terima kasih’ saja baginya adalah ekspresi tak mencukupi yang membuat suaranya terdengar kikir dan tidak tahu terima kasih, maka “Semoga kebaikanlah yang selalu terjadi dalam hidup Anda dan keluarga, kesehatan menjadi harta Anda senantiasa dan semoga Allah selalu mendengar doamu.” [h@nsdw]

(Wasuponda, 30/5/2012)

Catatan: Scar of David, Scar of Palestine; Susan Abulhawa; Hikmah, 2009 adalah novel yang ditulis sangat indah, yang bercerita soal konflik Palestina – Israel, dan penderitaan serta pergumulan orang Palestina dari sudut pandang seorang Palestina. Susan Abulhawa, lahir sebagai pengungsi pada perang enam hari 1967, pendiri yayasan Playgrounds for Palestine.

Bahasa Padoe, dituturkan oleh sekitar 18.000 orang di Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan di beberapa tempat di Sulawesi Tengah. Secara leksikostatistik berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Mori, Bungku dan Tolaki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun