Mohon tunggu...
Ninik Hardianti
Ninik Hardianti Mohon Tunggu... Mahasiswi

i just want to say that you are so pretty and important

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaga Etika Jurnalistik di Tengah Globalisasi Informasi

22 Juni 2025   06:47 Diperbarui: 22 Juni 2025   06:47 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penanggung Jawab:

Ninik Hardianti

Nouvia Syahrini Najjah

Nurjanah Azzahra

Rafa Nur Fitrah

Di era digital saat ini, batas antara ruang privat dan publik telah kabur. Informasi berpindah dalam hitungan detik, melintasi batas negara, budaya, bahkan etika. Teknologi membuat siapa pun bisa menjadi "wartawan" dalam arti teknis mengambil gambar, merekam peristiwa, dan menyebarkannya ke khalayak luas. Namun dalam gelombang kebebasan dan kemudahan itu, satu hal tetap tidak boleh ditinggalkan: etika jurnalistik. Di tengah banjir informasi dan berita yang bertubi-tubi, etika menjadi satu-satunya jangkar yang bisa menjaga agar profesi wartawan tetap berada di jalur yang benar menyampaikan kebenaran dengan tanggung jawab.

Kasus yang mencuat pada tahun 2023, tentang seorang perwira polisi bernama Iptu Umbaran Wibowo yang selama 14 tahun pernah aktif sebagai kontributor lepas di TVRI Jawa Tengah, menjadi refleksi penting bagi dunia jurnalistik Indonesia. Umbaran, yang kala itu bertugas sebagai anggota kepolisian di satuan intelijen, menjalankan tugas peliputan seperti wartawan pada umumnya: melaporkan berita daerah, mengirimkan footage, dan bahkan membangun jejaring profesional dengan sesama jurnalis. Namun, fakta bahwa ia adalah anggota kepolisian aktif yang sedang menjalankan misi intelijen menimbulkan perdebatan: sejauh mana etika jurnalistik bisa digeser oleh tugas negara? Apakah penyamaran ini sah secara hukum, namun bermasalah secara etik? Dan lebih jauh lagi bagaimana menjaga kepercayaan publik terhadap media dalam situasi seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sederhana. Di satu sisi, sebagai anggota kepolisian, Umbaran tentu bekerja dalam koridor tugas kenegaraan. Tidak ada indikasi bahwa ia melakukan pelanggaran hukum atau menyebarkan informasi palsu selama bertugas. Bahkan, bisa dikatakan ia menjalankan peran gandanya dengan penuh kedisiplinan dan kehati-hatian. Namun di sisi lain, ketika seseorang menjalankan fungsi jurnalistik tanpa identitas yang jelas dan tanpa posisi independen, maka timbul pertanyaan etik yang lebih dalam. Karena dalam profesi jurnalistik, kepercayaan publik adalah segalanya.

Kita bisa membayangkan, bagaimana jika seorang narasumber misalnya aktivis, petani yang tengah memperjuangkan hak tanahnya, atau bahkan korban kekerasan bercerita dengan jujur kepada seorang yang mereka percaya sebagai wartawan. Mereka percaya bahwa cerita itu akan diangkat secara adil dan disampaikan kepada publik. Tapi bagaimana jika ternyata wartawan tersebut adalah aparat yang menyamar dan memiliki tujuan lain di luar penyampaian kebenaran? Bukan soal benar atau salah secara hukum, tapi soal konsekuensi etik dan trauma kepercayaan.

Inilah mengapa etika jurnalistik bukan sekadar aturan formal, melainkan fondasi moral yang menjamin bahwa profesi ini dijalankan demi kepentingan publik, bukan kepentingan tersembunyi. Etika bukan untuk mengekang, tapi untuk melindungi semua pihak, wartawan, narasumber, dan publik. Dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, tercantum bahwa wartawan harus bersikap independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal-pasal lainnya menyebut bahwa jurnalis harus menempuh cara-cara profesional dalam menjalankan tugasnya, tidak menyalahgunakan profesi, dan tidak memiliki konflik kepentingan yang tersembunyi.

Kasus Iptu Umbaran memang tidak dimaksudkan untuk mencemarkan profesi wartawan atau institusi media. Bahkan, tidak sedikit yang memuji dedikasinya dalam menjalankan misi ganda tersebut. Tapi justru karena kasus ini dijalankan dengan begitu rapi dan berlangsung selama 14 tahun, ia menjadi alarm keras bagi media di Indonesia. Jika seseorang bisa menjalankan peran wartawan selama lebih dari satu dekade tanpa pernah diverifikasi atau diklarifikasi identitasnya, maka ini menunjukkan bahwa sistem kontrol media masih sangat lemah, terutama dalam mengelola kontributor lepas atau jurnalis daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun