Penanggung Jawab:
Ninik Hardianti
Nouvia Syahrini Najjah
Nurjanah Azzahra
Rafa Nur Fitrah
Di era digital saat ini, batas antara ruang privat dan publik telah kabur. Informasi berpindah dalam hitungan detik, melintasi batas negara, budaya, bahkan etika. Teknologi membuat siapa pun bisa menjadi "wartawan" dalam arti teknis mengambil gambar, merekam peristiwa, dan menyebarkannya ke khalayak luas. Namun dalam gelombang kebebasan dan kemudahan itu, satu hal tetap tidak boleh ditinggalkan: etika jurnalistik. Di tengah banjir informasi dan berita yang bertubi-tubi, etika menjadi satu-satunya jangkar yang bisa menjaga agar profesi wartawan tetap berada di jalur yang benar menyampaikan kebenaran dengan tanggung jawab.
Kasus yang mencuat pada tahun 2023, tentang seorang perwira polisi bernama Iptu Umbaran Wibowo yang selama 14 tahun pernah aktif sebagai kontributor lepas di TVRI Jawa Tengah, menjadi refleksi penting bagi dunia jurnalistik Indonesia. Umbaran, yang kala itu bertugas sebagai anggota kepolisian di satuan intelijen, menjalankan tugas peliputan seperti wartawan pada umumnya: melaporkan berita daerah, mengirimkan footage, dan bahkan membangun jejaring profesional dengan sesama jurnalis. Namun, fakta bahwa ia adalah anggota kepolisian aktif yang sedang menjalankan misi intelijen menimbulkan perdebatan: sejauh mana etika jurnalistik bisa digeser oleh tugas negara? Apakah penyamaran ini sah secara hukum, namun bermasalah secara etik? Dan lebih jauh lagi bagaimana menjaga kepercayaan publik terhadap media dalam situasi seperti ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sederhana. Di satu sisi, sebagai anggota kepolisian, Umbaran tentu bekerja dalam koridor tugas kenegaraan. Tidak ada indikasi bahwa ia melakukan pelanggaran hukum atau menyebarkan informasi palsu selama bertugas. Bahkan, bisa dikatakan ia menjalankan peran gandanya dengan penuh kedisiplinan dan kehati-hatian. Namun di sisi lain, ketika seseorang menjalankan fungsi jurnalistik tanpa identitas yang jelas dan tanpa posisi independen, maka timbul pertanyaan etik yang lebih dalam. Karena dalam profesi jurnalistik, kepercayaan publik adalah segalanya.
Kita bisa membayangkan, bagaimana jika seorang narasumber misalnya aktivis, petani yang tengah memperjuangkan hak tanahnya, atau bahkan korban kekerasan bercerita dengan jujur kepada seorang yang mereka percaya sebagai wartawan. Mereka percaya bahwa cerita itu akan diangkat secara adil dan disampaikan kepada publik. Tapi bagaimana jika ternyata wartawan tersebut adalah aparat yang menyamar dan memiliki tujuan lain di luar penyampaian kebenaran? Bukan soal benar atau salah secara hukum, tapi soal konsekuensi etik dan trauma kepercayaan.
Inilah mengapa etika jurnalistik bukan sekadar aturan formal, melainkan fondasi moral yang menjamin bahwa profesi ini dijalankan demi kepentingan publik, bukan kepentingan tersembunyi. Etika bukan untuk mengekang, tapi untuk melindungi semua pihak, wartawan, narasumber, dan publik. Dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, tercantum bahwa wartawan harus bersikap independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal-pasal lainnya menyebut bahwa jurnalis harus menempuh cara-cara profesional dalam menjalankan tugasnya, tidak menyalahgunakan profesi, dan tidak memiliki konflik kepentingan yang tersembunyi.
Kasus Iptu Umbaran memang tidak dimaksudkan untuk mencemarkan profesi wartawan atau institusi media. Bahkan, tidak sedikit yang memuji dedikasinya dalam menjalankan misi ganda tersebut. Tapi justru karena kasus ini dijalankan dengan begitu rapi dan berlangsung selama 14 tahun, ia menjadi alarm keras bagi media di Indonesia. Jika seseorang bisa menjalankan peran wartawan selama lebih dari satu dekade tanpa pernah diverifikasi atau diklarifikasi identitasnya, maka ini menunjukkan bahwa sistem kontrol media masih sangat lemah, terutama dalam mengelola kontributor lepas atau jurnalis daerah.
TVRI sebagai lembaga penyiaran publik menyatakan bahwa Umbaran hanyalah kontributor tidak tetap, dan bahwa pihak redaksi tidak mengetahui latar belakangnya. Ini bisa dipahami mengingat betapa luasnya jaringan kontributor media nasional, namun sekaligus mengkhawatirkan: jika sistem rekrutmen dan evaluasi tidak diperkuat, maka media menjadi sangat rentan terhadap infiltrasi kepentingan dari luar. Bukan hanya dari aparat, tapi bisa juga dari kelompok politik, korporasi, bahkan aktor asing.
Penting dicatat bahwa penyamaran dalam profesi jurnalis bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia. Dalam sejarah global, pernah ada kasus serupa. Misalnya, selama perang di Irak dan Afghanistan, terdapat laporan bahwa agen CIA dan intelijen Inggris menyamar sebagai wartawan untuk mengakses wilayah sensitif. Akibatnya, jurnalis sungguhan menjadi target kekerasan karena dicurigai sebagai mata-mata. Dalam konteks Israel-Palestina, organisasi jurnalis internasional pernah mengutuk penyamaran agen Mossad yang menyusup dengan identitas wartawan ke wilayah konflik. Semua ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan identitas pers bukan hanya masalah etik, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan wartawan asli.
Di Indonesia sendiri, kasus penyamaran seperti ini bisa berdampak buruk bagi para jurnalis yang sedang bertugas di lapangan, terutama di wilayah konflik atau yang menyangkut isu sensitif seperti agraria, korupsi, atau HAM. Jika publik mulai curiga bahwa wartawan mungkin saja adalah "penyusup", maka interaksi yang seharusnya terbuka dan informatif menjadi tertutup dan penuh kecurigaan. Dalam jangka panjang, ini bisa mengganggu fungsi pers sebagai jembatan antara negara dan masyarakat.
Lalu, bagaimana cara kita menyikapi persoalan ini secara konstruktif?
Pertama, media harus memperkuat verifikasi internal terhadap semua staf lapangan, terutama kontributor dan jurnalis lepas. Tidak cukup hanya menerima tulisan atau video dari daerah media harus tahu siapa orang di balik liputan tersebut. Riwayat pekerjaan, latar belakang afiliasi, dan kejelasan peran sangat penting. Jika seseorang memiliki afiliasi ganda, sebaiknya dideklarasikan sejak awal untuk menghindari potensi konflik kepentingan.
Kedua, organisasi pers seperti Dewan Pers, PWI, dan AJI bisa merumuskan pedoman tambahan tentang posisi etik wartawan yang memiliki peran ganda. Bukan berarti semua peran ganda dilarang karena ada banyak jurnalis yang juga dosen, peneliti, atau aktivis tetapi harus ada batasan dan transparansi yang jelas agar kepercayaan publik tetap terjaga.
Ketiga, lembaga negara seperti kepolisian atau militer juga perlu meninjau ulang pendekatan yang melibatkan penyamaran dalam profesi sipil, khususnya yang berisiko merusak integritas publik. Kita tentu memahami bahwa ada tugas-tugas negara yang sifatnya rahasia, tetapi penyamarannya sebaiknya tidak menyasar profesi-profesi yang berbasis kepercayaan publik seperti wartawan, dokter, atau pengacara. Alternatif strategi intelijen yang lebih etis dan tidak mencederai profesi lain sebaiknya lebih diutamakan.
Keempat, masyarakat sebagai penerima informasi juga harus semakin cerdas. Literasi media menjadi tameng pertama agar publik tidak terombang-ambing oleh informasi yang manipulatif atau tidak jelas sumbernya. Publik berhak tahu siapa yang menyampaikan berita kepada mereka, dan berhak bertanya: "Atas nama siapa informasi ini diberikan?"
Menjaga etika jurnalistik di era globalisasi informasi bukan tugas yang mudah. Jurnalis kini hidup dalam tekanan algoritma, kejaran klik, dan ekspektasi kecepatan yang nyaris mustahil. Namun di tengah tekanan itu, etika tetap menjadi pijakan utama. Tanpa etika, jurnalis hanyalah penyampai pesan yang bisa digerakkan siapa saja. Dengan etika, jurnalis menjadi penjaga nurani masyarakat.
Kasus Iptu Umbaran seharusnya tidak menjadi alat untuk menyalahkan satu pihak. Ia justru harus dijadikan cermin bersama. Bahwa dalam dunia yang semakin kompleks, kita perlu lebih waspada, lebih transparan, dan lebih tegas dalam membedakan peran. Pers adalah tiang demokrasi. Dan demokrasi hanya mungkin hidup jika kita semua sepakat bahwa informasi adalah hak rakyat bukan alat kuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI