Mohon tunggu...
Wong HK
Wong HK Mohon Tunggu... Nulis -

Wong HK

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lagi-lagi Raffi Ahmad... (Si Artis Te O Pe You Know Lah)

2 Desember 2014   10:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:16 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memulai tulisan ini juga sebenarnya agak sedikit 'terpaksa' karena sebenarnya saya tak berniat untuk berkomentar apa-apa untuk sesuatu yang saya anggap tidak ada 'apa-apa #lho??

Teringat saat menghadiri sebuah konfrensi di Singapura beberapa bulan yang lalu dimana saya bertemu dan berkenalan dengan seorang mahasiswa Univeristas Airlangga (UNAIR) yang saat itu mempresentasikan hasil penelitiannya. Sangat menarik tema penelitiannya dan sangat murah meriah dari segi anggaran karena yang hanya dia lakukan selama beberapa minggu hanya duduk manis di depan komputer sambil mengamati kicauan-kicauan 'target' penelitianya. Kicauan-kicauan tersebut akan dianalisa (sesuai konteks penelitian) dan akhirnya menemukan kesimpulan #enakyaaaaa...

Tapi...sebenarnya saya bukan ingin menguraikan panjang lebar penelitian teman saya itu, melainkan lebih fokus pada keusilan sampingannya sebagai stalker seorang artis te o pe di jagat per-selebritian Indonesia yang saat itu sedang 'heboh' digosipkan. Tahu donk siapa yang saya maksud... #nahtuhtahu

Singkat cerita, malam ini saya iseng 'jalan-jalan' di twitter land dan 'berlagak' menjadi stalker, menjelajah kicauan-kicauan para fans "si artis te o pe you know lah" dan menemukan 'pertengkaran' yang membara di antara pada fans. Let me describe (with my own words) mengapa 'pertengkaran membara' itu terjadi...

Di sebuah acara live sebuah tipi swasta "si artis te o pe you know lah" kepergok kamera sedang menggunakan tangannya secara efektif mengelus kepala salah satu lawan mainnya (dimana pada saat yang samaistri "si artis te o pe you know lah" berada disisinya).

Menurut 'kacamata' normatif (Indonesia), tentu saja tindakan "si artis te o pe you know lah" amat sangat tidak bisa diterima, terutama oleh kaum hawa (dan terutama yang telah berkeluarga). Harga diri sebagai perempuan 'diremuk-remuk' karena perempuan lain (istri "si artis te o pe you know lah") (mereka pikir) diperlakukan tidak pantas oleh sang suami. (mungkin) Rasa solidaritas sebagai sesama perempuan menguat dan pada akhirnya apa yang terlihat di tipi menjadi 'bukti' kuat dan otentik untuk mereka bawa ke 'pengadilan' (yang mereka ciptakan sendiri) yang secara langsung (harus) menghakimi sang suami "si artis te o pe you know lah" serta langsung memberi 'vonis' yang berat dan 'tak termaafkan'... #hiiii

Sebaliknya, sisi fans yang saya beri istilah fans 'apa yang terlihat bukan yang sebenarnya' memandang bahwa 'grepe-grepe' si "si artis te o pe you know lah" ke bagian tubuh perempuan (selain istrinya) merupakan 'kebiasaan' lumrah yang tidak bisa (baca saja 'belum bisa') lepas dari karakter bawaan lahir (alamiah) "si artis te o pe you know lah". Kelompok ini menganggap 'grepe-grepe' merupakan salah satu ungkapan rasa kasih sayang "si artis te o pe you know lah" kepada orang lain karena pada dasarnya "si artis te o pe you know lah" adalah pribadi yang penyayang (yang kalo tidak salah saya pernah baca istilah 'pribadi penyayang' ini pernah diungkapkan oleh sang istri dalam suatu wawancara... #kalokelirumohondibenarkan). Apa yang tersaji di depan layar tipi bukanlah refleksi dari keseluruhan perilaku "si artis te o pe you know lah" yang sebenarnya... #nah!!

Dan diantara kedua pendapat tersebut, saya menemukan beberapa pendapat yang lebih netral dan khas penonton, yaitu urusan 'grepe-grepe' cewek lain, pernikahan "si artis te o pe you know lah", atau pun perasaan sang istri (yang katanya lemah dan terlalu sabar) bukanlah hal yang besar dan tidak perlu dibesar-besarkan. Kelompok ini berkeyakinan bahwa urusan rumah tangga "si artis te o pe you know lah" berada dalam ranah pribadi dan tidak penting untuk diurusi (oleh orang luar yang bukan siapa-siapanya "si artis te o pe you know lah"). Bagi kelompok ini yang terpenting adalah tontonan yang diberikan menghibur dan mereka merasa tidak rugi dengan tontonan tersebut... Selama "si artis te o pe you know lah" dan istrinya fine-fine saja dan menghibur dengan warna-warni keromantisan hubungan mereka, everything is OK!! #tuuuhh!!

Banyak sisi menarik untuk dilihat dan diterawang 'pertikaian' para fans ini dengan mata bathin engkong saya #hehe
Dan saya menggarisbawahi (pandangan) nilai-nilai normatif yang (masih) melekat pada orang muda di Indonesia, sementara disisi yang lain mereka juga memiliki sudut pandang yang 'sangat' liberal dan 'vulgar' (misalnya beberapa fans yang dalam beberapa kali kultwit diantara mereka sangat bebas dan terbuka membahas sensualitas dan seksualitas yang berpusat pada hubungan 'internal' "si artis te o pe you know lah" dengan istrinya). Hal ini secara tidak sengaja mengingatkan saya pada beberapa wawancara penelitian saya dengan waria dalam beberapa minggu ini. Saat bicara tentang aktifitas seks yang mereka lakukan, para waria sangat terbuka dan ekspresif dengan istilah-istilah yang sering kali saya harus bertanya ulang karena 'aneh' dan 'asing' bagi saya. Namun saat bicara tentang pulang kampung dan orang tua, mereka sangat konservatif dan masih menggunakan ukuran-ukuran normatif masyarakat terhadap aktifitas seksual dan kehidupan transjender mereka. Orang Indonesia selalu memiliki dua sisi mata uang yang berbeda dalam hidup mereka yaaaaa  #yaga??

Bagi saya semua itu tidak apa-apa, menarik malah. Sering kali normatifitas memberi batasan bagi manusia untuk melihat orang lain dengan ukuran-ukuran yang mereka rancang sendiri tanpa melibatkan standar yang dimiliki oleh orang yang mereka lihat (??). Seringkali cara pandang ini sangat subjektif dan mengabaikan sisi 'non-normatif' yang bahkan menurut saya akan memberi warna dalam penilaian tersebut. Maksud saya adalah bahwa dalam relasi sosial atau pun dinamika sosial, ukuran-ukuran non-normatif perlu mendapatkan tempat disamping standar normatif, sehingga dapat menghasilkan sudut pandang/penilaian yang tidak bias dan fair. Sebagai bagian dari Bangsa Timur (dan Muslim?), bagi orang Indonesia nilai-nilai normatif seringkali menjelma menjadi prinsip hidup yang harus (mau tak mau) diikuti, walaupun (saya yakin) tidak semua memahami mengapa nilai-nila tersebut harus dipegang dan dipelihara serta diwariskan turun temurun. Sebaliknya, nilai-nilai non-normatif seringkali dianggap sebagai 'ancaman' bagi nilai-nilai yang berlaku secara turun-menurun tersebut serta 'haram' untuk diterima, diserap dan dianut dalam hidup.

Pada intinya, saya bingung saya ini nulis apa ya?#hadew

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun