Pemerintahan berganti pemerintahan, tetapi pendidikan kita seperti "berjalan di tempat". Tidak terlihat adanya peningkatan drastis di mutu SDM kita. Yang ada malah anggaran pendidikan yang mengambil porsi terbesar di APBN, yaitu 20%, jadi rebutan tikus-tikus berdasi di pemerintahan maupun DPR.
Anggaran pendidikan kita HAMPIR SEMUA habis untuk belanja rutin seperti gaji, beasiswa, dana BOS, dll. Kita berada di "survival mode", asal bertahan hidup dan asal ada pendidikan seadanya saja, tidak ada ruang dalam anggaran untuk melakukan terobosan maupun peningkatan mutu.
Masalah anggaran pendidikan ini sebenarnya sederhana saja. Kita dapat melibatkan KPK maupun Lembaga audit swasta/public untuk mengaudit dan melakukan pengawasan/dibarengi saat penyalurannya.
Dengan begitu efisiensi akan terjadi, dan kita akan memiliki sedikit nafas/kelebihan dana untuk melakukan terobosan.
Masalahnya MAU/tidak saja. Karena untuk MAU ini biasanya perlu demo berjilid-jilid karena wakil rakyat yang "tone deaf" alias susah mendengar.
Katakanlah masalah anggaran bocor telah selesai, sebenarnya apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia dan darimana kita memperbaikinya?
1. Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan Guru
Kita mulai dari Guru, karena ini sudah menjadi isu berpuluh-puluh tahun tanpa penyelesaian nyata.
Pertama harus kita akui adalah fakta di lapangan bahwa kualitas guru di Indonesia sangat bervariasi dengan "gap" perbedaan yang sangat tinggi. Banyak sekali guru yang maaf, sebenarnya tidak memiliki kualifikasi untuk mengajar, tetapi dipaksakan, dimana akhirnya murid yang dihasilkan berkualitas rendah, bahkan sampai viral karena sebagian siswa SMP/SMU tidak bisa membaca dengan lancer.
Saat ini ratio guru dan murid di Indonesia adalah sekitar 1 guru setiap 16 murid*, sedangkan di Vietnam, China, Korea, Jepang, ratio mereka sudah 20 hingga 30.
Artinya mereka lebih fokus kepada kualitas guru tinggi dengan kelas yang lebih besar, daripada ratio yang rendah = guru banyak, tapi kualitasnya rendah.
Jalan satu-satunya untuk meningkatkan kesejahteraan guru secara nyata bukanlah melalui demo naik gaji terus tanpa dibarengi peningkatan kualitas guru, tetapi dengan menaikkan kualitas guru melalui training dan sertifikasi sehingga ratio guru murid juga dapat naik. Bila jumlah guru sudah efisien, maka kita dapat dengan mudah melakukan peningkatan kesejahteraan guru.
2. Digitalisasi Pendidikan dan Koneksi Internet
Digitalisasi pendidikan adalah realita yang kita hadapi dimana seharusnya justru menjadi solusi UTAMA pendidikan di Indonesia dimana pendidikan kita seringkali tertinggal dari negara lain karena letak geografis yang luas dan sulit (kepulauan).
Bila kita tidak segera melakukan digitalisasi, kita akan menjadi semakin tertinggal dan adalah keniscayaan bahwa negara dengan manusia berSDM rendah akan menjadi korban bulan-bulanan negara lain, dijajah secara ekonomi dsb.
Adaptasi yang utama adalah koneksi internet 100% di sekolah2. Ini adalah kunci, jauh melebihi fasilitas dan renovasi bangunan sekolah itu sendiri.
Dibarengi dengan digitalisasi kurikulum oleh pemerintah, misalnya melalui aplikasi-aplikasi pendidikan yang interaktif, maka masalah akses materi pendidikan untuk di desa-desa dan daerah terpencil, terpecahkan dengan sendirinya.
Tidak ada lagi istilah anak desa, anak kota, anak miskin, anak kaya, karena semua orang sekarang memiliki akses internet untuk melihat konten pendidikan yang sama. Siapa saja bisa belajar apa saja dan menjadi pintar asalkan ada kemauan.
Dampak sistemik akan terjadi bila digitalisasi pendidikan ini dilaksanakan di semua lini, karena bukan saja usia sekolah yang mendapatkan manfaat, tetapi usia pekerja juga bisa mendapatkan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan yang meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan.
3. Sekolah Vokasi/Kejuruan
Percuma sekolah tinggi-tinggi bila akhirnya tidak dapat pekerjaan juga.
Memang ini berkaitan dengan penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Tetapi apabila kitanya sendiri tidak memilki ketrampilan apa-apa, maka kesempatan kerja yang ada juga menjadi semakin sempit.
Contoh bila kita memahami Bahasa inggris, dan beberapa ketrampilan terkait dunia digital, saat kita bisa mencari pekerjaan WFH dari mana saja dari seluruh penjuru dunia.
Hal ini dilakukan oleh negara tetangga kita Malaysia, 25 persen dari anggaran pendidikan mereka diperuntukkan untuk vokasi. Sedangkan kita meski ada, tetapi bukan menjadi fokus, hanya jadi selipan program yang tidak jelas hasilnya.
Sekolah vokasi tidak harus 3 tahun juga seperti SMK, bisa dibuat modular beberapa ar bulan sesuai kebutuhan keterampilan yang dibutuhkan dan bisa diikuti segala usia.
Kesempatan kerja menjadi terbuka seluas-luasnya, karena rakyat sekarang dapat mempelajari keterampilan apapun yang sedang dibutuhkan di lapangan, baik itu pekerjaan offline (bengkel dll), maupun online dan bahkan mengisi banyak lowongan kerja di luar negeri.
Mereka tidak lagi pasif menunggu saja lapangan pekerjaan datang, tetapi aktif belajar keterampilan baru dan mencari peluang dimana saja.
Negara ini bisa collapse, bukan hanya karena hutang yang banyak, tetapi juga karena SDM yang rendah. Kita tidak hidup sendirian di dunia, globalisasi telah terjadi, lapangan pekerjaan diperebutkan bukan hanya oleh orang di daerah yang sama lagi, tapi dunia.
Apabila kita tidak ingin menjadi bulan-bulanan dan dijajah secara ekonomi oleh negara lain terus, maka pendidikan adalah jalan satu-satunya.
Sayangnya mungkin masih banyak pejabat dan wakil rakyat yang lebih senang rakyatnya berSDM rendah supaya tidak bisa berpikir untuk protes, demo dan minta apa-apa lagi.
Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang membangun BOM WAKTU pengangguran dan masalah sosial, atau mereka sadar dan berpikir yang penting tidak meledak di periode saya saja?
by WongCilik
sumber data:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI