Baru-baru ini, publik sedang hangat membicarakan mengenai persoalan pemulangan orang-orang Indonesia yang menjadi militan ISIS di Timur Tengah.
Pro-kontra terjadi di antara masyarakat. Desakan untuk pemerintah menolak permintaan mereka dipulangkan sangat ramai, begitu pula dengan desakan untuk memulangkan mereka atas dasar HAM.Â
Presiden Joko Widodo mengisyaratkan akan mengambil sikap terhadap orang-orang yang memohon dipulangkan ini dengan hasil yang akan diumumkan paling lambat Juni tahun ini. Menkopolhukam Mahfud MD menyebutkan bahwa pemerintah saat ini lebih condong untuk tidak memulangkan orang-orang tersebut.
Walaupun demikian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyuarakan bahwa mereka berhak dipulangkan, dengan syarat orang-orang tertentu harus diadili dalam peradilan terbuka untuk dimintakan pertanggungjawabannya atas tindak pidana terorisme.
Status quo orang-orang tersebut adalah anggota militan ISIS berjumlah kurang lebih 600 orang. ISIS sendiri merupakan organisasi terorisme yang bukan negara (Non-State Actors/NSA), namun orang-orang ini dahulu menyatakan kesetiaan kepada ISIS yang mereka anggap sebagai suatu "negara khilafah yang akan lahir".
Konon, dilansir dari Tempo, beberapa orang telah menghancurkan dokumen kewarganegaraan Indonesia mereka dengan membakarnya secara sukarela. Sementara itu, ada pula dokumen paspor itu dirampas paksa dan tidak dikembalikan kepada mereka oleh pihak ISIS.
Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka dapat ditentukan bahwa sebagian dari mereka yang secara sukarela memusnahkan dokumen kewarganegaraan Indonesia dan/atau menyatakan janji setia kepada ISIS telah kehilangan kewarganegaraannya.
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah diatur bahwa pada huruf d dan f apabila WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan masuk ke dinas tentara asing tanpa seizin Presiden, atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing.
Hikmahanto Juwana mengklasifikasikan ISIS sebagai suatu bagian dari negara asing, dan militer ISIS merupakan dinas tentara asing.
Pendapat Hikmahanto tersebut saya sepakati, karena status quo ISIS saat ini meskipun juga termasuk ke NSA, namun beberapa militan menunggangi kelompok pemberontak anti-Bashar Assad di Suriah, bisa disebut sebagai bagian dari negara asing.