Â
Oleh: Pramudya Arie, S.H.
(Advokasi Konservasi & Hukum Bioprospecting)
Bioprospecting merupakan peluang ilmiah dan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya genetik Indonesia. Namun, lemahnya regulasi dan minimnya pengawasan telah membuka celah praktik biopiracy yang merugikan negara dan masyarakat adat. Artikel ini membahas secara komprehensif aspek hukum bioprospecting, dasar legal nasional dan internasional, serta urgensi perlindungan keanekaragaman hayati berbasis keadilan. Dibahas pula contoh kasus nyata terbaru yang menunjukkan perlunya penegakan hukum yang kuat dan berbasis komunitas.
Indonesia adalah salah satu negara dengan megabiodiversitas tertinggi di dunia, menyimpan 17% spesies dunia. Namun, potensi besar ini justru menjadi objek eksploitasi oleh pihak asing tanpa mekanisme pembagian manfaat yang adil, sebuah praktik yang dikenal sebagai biopiracy.
Seiring meningkatnya kebutuhan industri farmasi, kosmetik, dan pangan akan bahan hayati, praktik bioprospecting menjadi peluang sekaligus ancaman. Ketimpangan antara pengetahuan lokal, hak kekayaan intelektual (HAKI), dan lemahnya pengaturan hukum menyebabkan ketidakadilan bagi pemilik asli sumber daya.
Definisi dan Perbedaan Bioprospecting vs Biopiracy
Bioprospecting adalah eksplorasi legal sumber daya genetik (tumbuhan, mikroba, hewan) untuk keperluan riset dan komersialisasi. Biopiracy adalah pemanfaatan sumber daya genetik atau pengetahuan lokal tanpa izin atau tanpa pembagian keuntungan kepada pihak asal.
Contoh: Ketika sebuah perusahaan luar negeri mengambil tanaman endemik Papua dan menjadikannya bahan paten kosmetik tanpa izin masyarakat lokal --- itulah biopiracy.
Dasar Hukum Internasional dan Nasional
Hukum Internasional:
- CBD (1992): Mengakui kedaulatan negara atas sumber daya genetik.
- Protokol Nagoya (2010): Menekankan prinsip ABS (Access and Benefit Sharing):
 * PIC (Prior Informed Consent)
 * MAT (Mutually Agreed Terms)
 * Benefit Sharing
Hukum Nasional Indonesia:
- UU No. 5 Tahun 1994
- UU No. 11 Tahun 2013
- Permen LHK No. P.95/2018
- Permenkumham No. 38/2018
Kasus Terbaru: Dugaan Biopiracy Ekstrak Daun Gaharu dan Tambora
Kasus Ekstrak Gaharu:
- Lokasi: Kalimantan Timur dan Papua
- Modus: Peneliti asing mengambil spesimen gaharu tanpa pelibatan komunitas adat
Kasus Daun Tambora:
- Lokasi: Nusa Tenggara Barat
- Masalah: Riset farmasi luar negeri mengambil tanaman lokal tanpa transparansi izin ABS
Analisis dan Opini Hukum
Kedua kasus menunjukkan kegagalan implementasi prinsip-prinsip Protokol Nagoya. Diperlukan pembentukan Badan Otoritas ABS Nasional yang independen dan terintegrasi, serta database genetik dan pelatihan hukum bagi masyarakat adat.
Di tengah revolusi industri bioteknologi dan bioekonomi, hukum bioprospecting adalah alat penting untuk melindungi keadilan ekologis dan hak komunitas lokal. Tanpa regulasi dan keterlibatan akar rumput, Indonesia hanya akan menjadi ladang eksplorasi tanpa perlindungan.
Daftar Pustaka Pilihan
1. McManis, C. R. (2007). Bioprospecting and Access and Benefit Sharing
2. Shiva, V. (2000). Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge
Konsultasi tentang hukum bioprospecting silakan chat Whatsapp :
08565012962
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI