Mohon tunggu...
Agus Wahyu Hartanto
Agus Wahyu Hartanto Mohon Tunggu... -

lahir 22 tahun yang lalu saat membuat akun ini. sederhana, elegan, keren, menyukai mawar, dan yha.... suka menulis. ngeblog juga di http://warlockgunkid.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dear Diary, Aku Tukang Parkir

2 Juli 2012   15:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore yang indah, berjalan berteman bayang di sisi debur pantai. Tak terasa, seonggok botol usang terbawa gelombang menghantam tungkaiku. Kuambil, dan secarik perca tertulis di dalamnya. Sebuah catatan.

**********************************************

Dear Diary,,

Dulu, ada seekor burung yang datang kepadaku. Dia lapar, dan memintaku memetikkan buah segar. Burung bercerita bahwa dia bukanlah burung dari daerah ini. Dia terbang dari timur ke barat untuk menimba pengalaman hidup. Burung muda, penuh semangat hidup, dan--dari tutur katanya--dia sangatlah bijakdan humoris.

Aku membawanya ke kebun buah yang aku kenal. Burung itu--dari matanya--memancarkan kegirangan serta syukur setelah melihat bermacam aneka buah ranum nan segar. Dengan sisa-sisa tenaganya, burung itu mulai berjalan-jalan menelusuri kebun itu. Melihat ke kanan, menengok ke kiri, sesekali mendongakkan kepala menatap ranumnya buah di atasnya. Belum,,, burung itu belum mencoba satu pun buah di situ. Dia hanya berkicau ke sana kemari. Berjalan dari satu ranting ke ranting yang lain.

Akhirnya dia menemukan satu pohon yang rindah, indah, buah lebat nan ranum. Terlihat elok warnanya, dan konon katanya, lezat nan segar nian rasanya. Sang burung pun memintaku memetikkan buah itu untuknya. Merasa sebagai tuan rumah yang baik, aku pun memetiknya. Tak apalah,, toh burung itu kecapekan. Terbang setinggi itu pasti amat sangat menguras tenaganya. Lagipula, aku merasa mulai akrab dengannya. Aku merasa, burung itu akan menjadi sahabat setiaku.

Aku mulai mendaki pohon itu. Sudut demi sudut panjat termudah kulalui. Mudah, berarti aku mengambil jalur aman yang pula berarti jalur yang lama. Tak apalah kubilang. Aku tak punya sayap selebar sayapnya. Tak punya cakar yang dapat mencengkeram erat untuk berpijak. Lenganku yang rapuh, tungkaiku yang lemah, bahkan tidak lebih besar dari ranting pohon itu. Namun, demi temanku itu, kulalui sajalah... Kulewati sarang lebah, kurelakan beberapa bagian di hinggapi gatalnya semut. Inchi demi inchi kudaku, jalur termudah belum tentu aman dan nyaman. Namun dari jalur itu, aku bisa melihat berbagai sudut berbahaya dari pohon itu.

Akhirnya, sampailah aku di puncak pohon dengan buah teranum. Tempat dimana semua hal dapat terlihat jelas. Tempat dimana terlihat kelopak demi kelopak bunga bermekaran dan buah-buah mulai meranum. Kugapai satu buah teranum, kemudian aku turun untuk kuberikan kepada sahabatku.

Dinikmatinya buah itu, dan memang lezat nan segar rasa katanya. Dia menawarkanku, namun aku menolak. Melihatnya yang sangat suka buah itu, aku tak segan mengatakan kepadanya. Kalau dia suka, aku tak akan menyentuh buah di pohon itu. Walaupun pohon itu tumbuh di daerah jalan-jalanku, namun akan kujaga pohon itu untuknya.

Maka burung sahabatku pun menitipkan pohon itu kepadaku, beserta memintaku untuk menyemai bijinya. Kulakukan semua itu. Kujaga pohonnya, kusemai bijinya. Kurawat dia baik-baik. Meminimalisir diri untuk tidak menyentuhnya. Tidak menyentuh buahnya, atau batang pohonnya sekalipun.

Suatu saat, tiba bagiku saat dimana aku kehausan. Tiba saat dimana aku begitu lelah dan begitu kekeringan. Di saat seperti itu, datanglah selembar surat dari sahabatku, si burung bijak tadi. Dia bilang, dia menghadiahkan itu untukku. Aku, di tengah haus dan dahaga lelahku, mati-matian meyakinkan bahwa pohon itu masih tetap miliknya. Pohon yang tak akan kusentuh buah ataupun batangnya, kecuali dia memintaku memetikkan untuknya. Sang burung bijak bilang,"Engkau lebih layak, aku telah berada pada kebunku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun