Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Kesuksesan Leicester City, Kesuksesan "Wong Cilik"

12 April 2016   22:07 Diperbarui: 12 April 2016   22:16 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: caughtoffside)"][/caption]Berkibarnya Leicester City di Liga Primer Inggris musim ini adalah sesuatu yang fenomenal dan tidak disangka-sangka. Pengamat sepakbola Justinus Lhaksana di program ESPN FC Indonesia di layar NET. bahkan menyebutnya sebagai “a neverending fairytale”, alias dongeng indah yang sepertinya tak akan berakhir. Pasalnya, tak sesiapapun menduga The Foxes bakalan sekeren ini—memuncaki klasemen hingga pekan ke-33 dan kemungkinan besar akan berakhir sebagai kampiun.

Semua keterkejutan tadi berkaitan dengan, apa lagi jika bukan, soal “latar belakang ekonomi”. Leicester bukan tergolong The Big Four (Manchester United, Arsenal, Chelsea, Liverpool) yang sejak kelahiran Liga Primer pada musim 1991/92 mendominasi titel juara—plus Manchester City sejak lima tahun terakhir. Golongan menengah seperti Tottenham Hotspur, Everton, atau Southampton pun bukan.

Leicester adalah tim yang disebut medioker hanya karena yang nyebut masih penuh basa-basi untuk tidak terlalu melukai hati para fans di King Power Stadium. Mereka jelas calon kuat penghuni zona degradasi ke Football League Championship musim berikutnya. Dan itu bukan tanpa bukti. Musim 2014/15 lalu, mereka ada di situ—nyaris sepanjang musim, dan baru bisa selamat oleh kebangkitan ajaib yang dipertunjukkan dalam sembilan pertandingan terakhir.

Maka saat musim 2015/16 ini dibuka, ekspektasi semua pihak pun nyaris semuanya sama. Baik para pundit (pakar), pelaku (pelatih dan pemain), penonton, maupun petaruh, tiba pada dugaan yang sama: bergantinya typeface nomor dan nama pemain di punggung jersey biru The Foxes dari font Liga Primer ke font Football League untuk musim 2016/17 mendatang. Dan fakta pergantian kursi manajer dari Nigel Pearson ke “empu sepuh” Claudio Ranieri tetap tak mengubah prediksi itu.

Bahkan para suporter Leicester pun pasti juga tak berani berpikir muluk-muluk. Ya sekadar berharap sih sah-sah aja, dan wajar (“semoga Foxes juara musim ini ya Allah, amin...”). Namanya juga manusia. Namun beneran serius mewacanakan titel juara—atau bahkan jatah tiket Liga Champions UEFA pun—adalah seperti jika Kecik cah Njeminahan ingin bisa pacaran sama Kimberly Ryder. Alias pungguk merindukan bulan.

Namun ternyata, semua prediksi teracak-acak sempurna. Perjalanan Leicester sejak awal musim sungguh mirip dongeng manis. Tak hanya itu, kemunculan ala dongeng juga dialami para aktornya. Siapa itu Jamie Vardy? Siapa itu Riyad Mahrez? Siapa itu Kasper Schmeichel? Tahu-tahu mereka jadi superstar. Vardy menyamai rekor Ruud van Nistelrooy dengan mencetak gol di 11 pertadingan beruntun, dan berdasar infomasi di Wikipedia, transfer valuation-nya meroket dari £ 2 juta (Rp 37 miliar) menjadi sekitar £ 18 juta (Rp 366 miliar) dari awal musim hingga Maret 2016 ini.

Aku ingat sekali, beberapa kali menemukan nama Vardy di daftar transfer liga-liga bawah saat iseng mainin klub-klub League One atau League Two di permaian Championship Manager atau Football Manager beberapa tahun lalu. Lalu Kasper adalah putra sang legenda Denmark, Peter Schmeichel, yang ora payu di Manchester City zaman susah, lalu disuruh pergi ke klub-klub Championship dengan istilah penuh kesopanan berupa “loan transfer”.

Dan Mahrez? Siapa pula Mahrez ini? Saking begitu abainya terhadap The Foxes, aku malahan baru ngeh soal dia sesudah terkenal. Sebelum ini, dia tak lebih sekadar figuran Liga Primer, seperti kalau kita mengingat Florent Laville, Bruno Cheyrou, atau Jes Hogh sekian tahun lalu.

Lantas kini, hanya lima pertandingan sebelum musim 2015/16 ditutup dan keberpihakan kita pindah dari klub ke negara di ajang Euro 2016 Prancis, Leicester City ada di puncak. Berselisih tidak dua atau tiga atau empat, melainkan tujuh poin, dengan peringkat kedua. Jika tak ada kejadian aneh-aneh atau seluruh anggota skuad The Foxes sakit perut semua hingga pertengahan bulan depan, Ranieri akan memimpin para anak buahnya berfoto sambil mengangkat trofi Liga Primer dan siram-siraman sampanye pada akhir musim.

Berbagai analisis pun disusun, mengenai apa kunci sukses Leicester musim ini. Bisa dari pelatihnya, dan taktik serta strategi yang diterapkannya. Bisa dari ikatan kekompakan dan kerjasama seluruh personel, yang semua merasa senasib sepenanggungan karena ketiadaan pemain bintang. Bisa juga dari fakta bahwa kebetulan para geng klub kaya tengah mengalami periode nyungsep bersama-sama.

Apa pun itu, Foxes menjadi bukti bahwa background tidak menentukan kinerja. Mereka berasal dari level klub “wong cilik”, klub tingkat grass root yang berkiprah tidak mengandalkan kekuatan modal atau bekal. Mereka juga sekaligus miip  para pejuang bersenjata bambu runcing kita tujuh dasawarsa lalu, yang harus bertarung melawan tank, panser, dan Mustang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun