Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Seharusnya Pelajaran Mengarang Diajarkan?

11 November 2019   19:23 Diperbarui: 12 November 2019   14:20 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu pelajaran yang paling tersisihkan dari fokus perhatian pendidikan nasional bangsa ini adalah soal menulis, alias mengarang. Ini tampak dari sangat rendahnya minat guru dalam menulis.

Dalam beberapa kali kunjungan ke sekolah belakangan ini, guru-guru pengundang (yang punya minta dan beberapa bahkan sudah menerbitkan buku) mengungkap fenomena ini pada kalangan rekan-rekannya sesama guru.

Jika para guru saja enggan menulis dan menerbitkan buku, apalagi para murid. Padahal menulis merupakan salah satu elemen penting pembentukan karakter manusia. Termasuk fakta soal writing therapy dalam pengobatan dan pencegahan gangguan emosi, peran krusial ini sudah bukan lagi mitos, karena telah lama dikaji secara ilmiah. 

Dan padahal pula, buku sangat bermanfaat untuk mendongkrak karier ke-PNS-an para guru. Mirip seperti guna makan agar kenyang, tapi tidak mau karena tidak ada minat pada makanan!

Namun barangkali, kendala utama kekerontangan pelajaran mengarang di sekolah berawal dari kompetensi skill para guru juga dalam urusan satu ini. Karena guru hanya mendapat materi dasar-formal soal pernak-pernik Bahasa Indonesia dan bukan teknis terperinci menulis (apalagi menulis kreatif), maka yang diajarkan pada para murid pun sebatas yang diketahui saja.

Ini jelas problem, karena menulis adalah satu bidang keterampilan yang sangat kompleks. Agar benar-benar dapat berfungsi maksimal, entah dalam konteks sarana berekspresi, pencetak kedewasaan karakter anak, maupun pilihan karier serius masa depan, pelajaran mengarang tak bisa semata dikenalkan sambil lalu. Tak cukup hanya dengan tugas menulis cerita tiga paragraf berdasarkan gambar di LKS atau apalagi hanya sekadar pertanyaan ulangan "apakah yang disebut pokok pikiran paragraf?" dan semacamnya.

Jadi harus dengan cara bagaimana pelajaran mengarang diberikan di sekolah? Tugas-tugas mengarang adalah fase akhir, yang harus diawali dua hal penting terlebih dahulu. Dan nanti, ketika menulis sudah menjadi keseharian dan kebiasaan para siswa, kedua hal ini harus terus diolah dan didalami.

Apa saja itu?

Yang pertama, drill membaca. Kami para penulis pro mengalaminya sendiri, yaitu tak akan ada nulis tanpa baca.

Dalam koridor persekolahan formal, membaca bukan lagi sekadar pilihan bebas soal hobi, melainkan harus dijadikan dasar berpikir dan pengamalan utama. Semua yang ada di bawah atap sekolah atau kampus, baik murid maupun guru, harus gemar baca. Harus kutu buku. Harus.

Pada saat saya menjadi anak sekolah antara 1978 hingga 1990, faktor kunci ini justru menjadi kelemahan pendidikan Indonesia. Jangankan disuruh baca. Ndemek (menyentuh) buku pun tidak.

Terkait sastra Indonesia dan para tokohnya, kami para murid hanya disuruh membaca sinopsis Sitti Nurbaja, Salah Asuhan, atau Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, bukan buku aslinya. Dan itu pun ditugaskan bukan untuk membentuk mental kami menjadi suka baca, melainkan tak lebih dari hapalan data dan fakta untuk keperluan tes catur wulan atau semesteran!

Persentuhan terdekat dengan karya sastra terjadi satu kali saat saya kelas I SMA (sekarang kelas X). Waktu itu guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 5 Semarang musim kompetisi 1987/88, Bu Endang Hadijati, mengenalkan kami pada cerpen La Bandida karya Mochtar Loebis. Dan bukan pula kami para murid ditugaskan untuk membaca langsung, melainkan hanya didongengi!

Membaca harus menjadi aktivitas utama sekolah agar para murid terpapar buku secara nyata, tak hanya baca-baca demi urusan nilai ulangan. Kenalkan mereka pada karya sastra yang jauh lebih berat dari kapasitas baca mereka: Shakespeare, Hemingway, Kafka, Murakami. Jangan sampai menelurkan generasi penulis kayak saya, yang hanya untuk baca Bumi Manusia-nya Pram saja menunda lama sekali hanya karena "nyastranya berat; takut nggak mudeng"!

Aspek krusial kedua adalah kemampuan melakukan ulasan bahan bacaan dan sekaligus keberanian beropini tentangnya. Saya selalu iri tiap melihat scene pelajaran bahasa Inggris di film-film Hollywood, di mana murid diperintahkan membaca Romeo & Juliet, misalnya, lalu disuruh menyampaikan pendapat tentang itu. Berikutnya, murid lain bisa saja menyampaikan pendapat berlawanan. Perdebatan (intelek, bukan kusir) pun terjadi.

Adakah itu di pendidikan kita? Apakah murid telah diberi kesempatan menyampaikan aspirasi, dimotivasi agar berani mengemukakannya di depan umum, sekaligus dibekali teknik retorika sehingga dapat menyampaikannya dengan bahasa yang tak saja runtut dan tertib, namun juga menarik? Juga bahwa menyampaikan pendapat-pendapat berbeda dan kemudian saling memperdebatkannya adalah boleh saja, asal masih berdasar.

Dulu dalam 12 tahun masa sekolah, saya tak punya kapabilitas itu karena memang tidak diajari. Tak aneh perintah guru soal diskusi kelompok atau tawaran bertanya atau menyampaikan pendapat selalu menjadi trik termudah untuk membuat kelas menjadi sepi!

Membaca secara rutin akan membuka otak untuk selalu siap menerima informasi-informasi terbaru, lalu kita selalu mau dan mampu meng-update diri mengikuti perkembangan bacaan.

Sedang kegiatan resensi dan diskusi akan mengasah pikiran kritis sekaligus ketertiban diksi perkataan (entah verbal maupun tertulis), juga keberanian mengungkapkan sikap dan mempertahankannya dengan dasar yang intelek dan elegan.

Barulah di titik ini, kegiatan menulis akan menemukan fungsinya yang maksimal. Karena berpengetahuan dan terbiasa berlatih keteraturan diksi, murid akan selalu mampu menulis runtut dan dengan bahasa yang tertata.

Tiap individu siswa akan secara tidak langsung melatih diri mereka sendiri soal kedewasaan dan ketertiban. Tak perlu lagi harus dinasihati macam-macam hanya untuk urusan sesepele membuang sampah di tempat sampah.

Kemudian, urusan pernak-pernik teknik menulis pada gilirannya akan menjadi kebutuhan. Murid (dan termasuk guru pengajar Bahasa Indonesia) akan sungguh-sungguh berusaha menggali itu.

Mereka ingin bisa menulis lebih baik, agar karya-karya mereka dapat dipublikasikan, baik lewat buku maupun media massa. Urusannya pun tak semata demi nilai ujian, melainkan menjadi satu prestasi hidup yang benar-benar dicari.

Yang menemukan passion pada sastra akan berupaya menjadi sastrawan. Sedang yang tidak, kemudian akan berbelok arah ke dunia penulisan ilmiah, nonfiksi, atau jurnalisme.

Yang tidak berminat pada karier kepenulisan pun, mau jadi musisi atau politikus, misalnya, akan tetap membawa kenangan baca dan nulis mereka semasa sekolah dalam bentuk keteraturan pikir, kreativitas gagasan, dan cara mengeksekusinya menjadi kerja-kerja yang bermanfaat.

Ketika baik guru maupun murid telah menemukan keterhubungan dengan dunia baca dan menulis, banyak pilihan tersedia untuk meningkatkan skill.

Misal, dengan mengundang penulis profesional untuk memberikan workshop atau materi ekstrakurikuler, mengikuti komunitas-komunitas menulis, atau menyertakan kantor penerbit dan media massa ke salah satu jadwal kegiatan pada acara study tour tahunan.

Pada era ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipegang oleh seorang tokoh pembaharu yang visioner seperti Nadiem Makarim, perubahan-perubahan ke arah "pelajaran sekolah beneran kepake dalam hidup" inilah yang seharusnya menjadi priotitas utama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun