Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Dilan" adalah Novel dengan Dosis yang Diturunkan

28 Desember 2018   11:06 Diperbarui: 28 Desember 2018   11:12 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa kali artikel dan kesempatan workshop, saya kerap bilang bahwa menulis (terutama fiksi) adalah soal kedewasaan pikir. Tulisan boleh saja bagus, tapi itu tak pernah cukup jika kematangan berpikir belum terbentuk atau bahkan belum ada. Materi yang sama akan terbaca dengan cara berbeda jika ditulis dengan kematangan. Dan itu telak terbukti di novel ini. Biasa disebut novel Dilan saja, sedang judul kompletnya adalah Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990.

Baik secara sastrawi maupun komoditas industri penerbitan milenial, Dilan terang adalah novel-novel bergenre young adult (YA) untuk para ABG, atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah teenlit. Namun ia jauh lebih berkualitas dibanding rekan-rekan sejawatnya sesama teenlit. Mengapa? Karena sang penulis memang sudah matang duluan, yang sangat menentukan bobot kualitas tulisannya.

Cerita novel Dilan sebenarnya tidaklah istimewa. Kita semua pasti pernah alami saat SMA, kecuali yang psikopat dan antisosial. Intinya ada cowok yang pedekate cewek, dan dalam prosesnya menemui banyak hambatan dari lingkungan.

Kisah dibuka pada bulan September 1990, ketika Milea yang baru pindah ke kota Bandung dan sekolah di salah satu SMA negeri di sana tiba-tiba disapa oleh Dilan. Lalu, melintasi beberapa kejadian, makin kentara bahwa Dilan naksir Milea, namun melakukan pedekate dengan cara-cara yang tak lazim.

Salah satu contohnya, ia memberi kado ulang tahun ke Milea berupa buku TTS, yang semua kotaknya sudah diisi (katanya biar Milea tidak repot). Mengisengi juga merupakan bagian taktik Dilan mendekati Milea, seperti saat hendak mengantar sang gadis ke rumahnya tapi malah sengaja disasarke ke rumah tetangga bernama Wawan. Dan isi obrolan Dilan ke Milea juga aneh-aneh, tapi semuanya mengena bagi Milea.

Karena Milea cantik, Dilan jelas punya pesaing. Yang terdepan adalah Adi, guru les privat Milea yang seorang mahasiswa ITB. Beda dari Dilan, cara pendekatan Adi terlalu gampang ditebak karena sangat mainstream, yaitu langsung ketahuan bahwa pedekate sedang dilaksanakan. Target yang memang tidak menghendaki pun akan duluan dibikin ilfeel.

Sedang saingan Milea untuk menuju Dilan adalah kawan sekolah mereka juga. Namanya Susiana. Saat ngapel ke rumah Dilan, Susi malah ditinggal Dilan sembunyi di dalam lemari. Lalu ada subplot tentang aktivitas Dilan sebagai member geng motor yang dekat dengan situasi saling serang antarsekolah.

Membaca Dilan adalah seperti membaca skenario FTV dan ternyata yang bikin adalah William Shakespeare, atau saat dulu Sergio van Dijk begitu gampang bikin gol kala membela Persib Bandung tahun 2013-14 lalu. Bukan berarti FTV atau Liga Indonesia atau teenlit receh dan tidak urgen. Hanya saja, sang kreator memiliki kapasitas jauh lebih tinggi untuk medan yang tengah digeluti.

Pidi Baiq bukan novelis teenlit berumur 18 tahun yang sekali menerbitkan langsung best seller. Ia seniman multitalenta. Pernah bikin band The Panas Dalam tahun 1995, ia juga menulis lagu, juga menggambar sketsa, dan sebagai sastrawan sudah lama malang melintang di ranah sastra tinggi, bukan sastra populer yang cheesy dan formulaic. Tak aneh Dilan buah tangannya adalah teenlit yang begitu beda.

Semua yang ada di sini adalah apa yang tidak ada di 98% novel-novel teenlit pada umumnya. Ada kejelasgamblangan yang menimbulkan efek realis. Semua lokasi di Bandung disebut jelas, juga tokoh-tokoh dunia nyata seperti WS Rendra dan Harry Roesli. Pada titik tertentu, trik semacam ini membuat pembaca seperti berada dalam suasana bahwa semua yang diceritakan oleh pengarang adalah sungguh-sungguh terjadi. Apalagi fan theory menyebut, semua tokoh itu, Dilan, Milea, Piyan, Wati, memang beneran eksis di planet ini.

Itu ditambah dengan pengisahan dari angle orang pertama yang dituliskan dengan cara seperti sang narator (Milea) tengah bercerita pada masing-masing dari kita. Dan makin meyakinkan lagi karena corak ceritanya sangat biasa. Tak ada hal-hal, baik tokoh maupun situasi, yang berkategori luar biasa sehingga cenderung tidak logis. Konflik dan efek dramatik dimunculkan tidak dengan kejadian-kejadian tragis yang besar (penyakit mematikan, tabrak lari, dll.), namun cukup melalui kecemburuan.

Ini semua bukan soal skill nulis semata, melainkan kematangan. Pidi Baiq memang sudah lama matang. Tak hanya sebagai penulis namun juga seniman secara umum. Ia lahir tanggal 8 Juli 1972, sudah berusia 42 tahun saat cetakan pertama Dilan terbit. Tak aneh kita bisa mencium aroma kebajikan dalam Dilan---sesuatu yang tak mungkin ada dalam buah karya dari seorang pengarang yang mengisahkan tokoh-tokoh dengan periode usia yang sama dengan usia kalendernya saat itu.

Namun di atas kata-kata dan kalimat memorable Dilan pada Milea, hal terpenting dari novel yang berawal dari unggahan-unggahan Pidi di blog ini adalah pesan moralnya. Dan bukan yang termuat dalam cerita, melainkan yang hadir secara tersembunyi. Istilah kerennya, subliminal message. Setidaknya ada dua hal krusial yang harus kita cermati.

Satu, omongan Dilan pada Milea soal "Tidak langsung, tapi kena". Ini mirip petuah Mbah Atmo pada Mara di novel Mara: Diktator, Eksim, dan Cinta yang Nayal-nayal mengenai Ngelmu Ngalang. Saat melakukan sesuatu, dalam hal ini mendekati gebetan, kadang kita harus menggunakan cara-cara seperti yang ditempuh Dilan. Tidak langsung hantam dengan rutin menemui atau menelepon seperti teknik modus Adi, melainkan harus "memutar" lewat obrolan aneh-aneh, hadiah yang tak lazim, dan keserbatakterdugaan (yang membuat target merasa diistimewakan).

Dan hal penting kedua adalah suri tauladan Pidi sebagai seniman multitalenta yang bersedia "menurunkan dosis" untuk menerjuni belantara teenlit. Banyak penulis senior dan terutama sastrawan tinggi yang gengsi di titik ini, dengan alasan "sudah tidak menguasai dunia remaja masa kini" sehingga agak enggan untuk (kembali) menulis novel remaja (sebagaimana pada periode awal karier menulis mereka sekian puluh tahun lalu).

Pidi menghadirkan solusi jitu untuk problem ini. Karena tidak tahu situasi ABG terkini, kenapa tidak mengisahkan masa ABG masing-masing? Untuknya, tentu adalah tahun 1990, saat ia masih berumur 18 dan masih pula menjadi "Dilan". Strategi ini jitu karena tak saja mempermudah penulisan, melainkan berhasil pula menggaet dua segmen sekaligus: orang seusianya (seusia saya juga) yang ingin bernostalgia era 1990-an, serta remaja ABG milenial yang tersepona pada keromantisan Dilan dan Milea.

Saya sendiri, membaca ini, jadi ingin balik lagi ke tahun itu untuk menikmati musim hujan yang sendu di Kota Kembang...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun