Mohon tunggu...
Dewi Haroen
Dewi Haroen Mohon Tunggu... Psikolog -

Psikolog Politik & Pakar Personal Branding, Penulis Buku "PERSONAL BRANDING Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik", Narasumber media cetak/online, Radio & TV, Pembicara Seminar & Trainer, https://www.youtube.com/watch?v=oW1vuHKJ4iI http://www.dewiharoen.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Air Mata di Ruang Sidang dan Personal Brand Politisi

15 Desember 2016   11:28 Diperbarui: 26 Januari 2017   15:26 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali lagi ruang sidang pengadilan kembali menjadi panggung sinetron. Aktor utama  adalah terdakwa, seorang petahana gubernur yang sedang bertarung di pilkada. Lakonnya dugaan penistaan agama dengan aktor pendukung majelis hakim, tim jaksa penuntut umum dan tim penasehat hukum. Penontonnya masyarakat yang sebelumnya pernah terbiusdengan panggung yang sama dengan lakon kopi bersianida. Dan seperti biasa hiruk pikuk pemberitaan yang memekakkan dari promotor (diperankan oleh media massa) membuat masyarakat semakin tertarik untuk menyaksikan.

Sebagaimana umumnya sinetron di tanah air, maka lakon ini juga diwarnai derai air mata.  Namun agak berbeda dengan lakon kopi bersianida dimana air mata tumpah di episode akhir, maka kali ini justru sudah terjadi di episode perdana. Tentunya cukup mengherankan mengingat pemeran utamanya  adalah sosok laki-laki paruh baya yang populer dan diasosiasikan sebagai politisi tegas, keras dan tidak mengenal takut. Sebaliknya dengan kopi bersianida pemeran utamanya seorang wanita muda yang sama sekali belum dikenal publik.

Pertanyaannya kemudian, kenapa air mata sudah muncul di episode awal? Karena bukan ahli hukum maka saya membahasnya dari sudut personal branding sesuai bidang keahlian. Meski saya seorang psikolog yang mempelajari gesture (gerak tubuh) seseorang,  di tulisan ini saya tidak  membahas apakah air mata tersebut turun dengan spontan atau dibuat-buat. Fokus bahasan adalah dampak tangisan di ruang sidang pengadilan terhadap personal brand seorang politisi.

Penonton sudah menjadi saksi bahwa  kehadiran air mata di lakon kopi bersianida membuahkan hasil vonis 20 tahun penjara bagi terdakwa. Majelis hakim menganggap bahwa turunnya air mata tersebut cuma sekedar sandiwara yang dibuat terdakwa untuk merebut simpati penonton. Tidak adanya ingus yang meleleh sampai ke bibir (dari pengamatan hakim) dipakai sebagai salah satu alasan untuk memperkuat anggapan itu. Penonton yang sudah dipengaruhi oleh opini media massa yang gegap gempita, cenderung mengiyakan pandangan majelis hakim tersebut.

Ya, sejak kasusnya meledak, personal brand pemeran utama kopi bersianida terbentuk oleh media massa. Dia dipersepsikan sebagai pembunuh berdarah dingin yang sadis dan tidak punya perasaan empati. Pemberitaan yang masif dan lama (sekitar 10 bulan  dari pemeriksaan sampai vonis) membuat personal brand tersebut melekat kuat di benak masyarakat. Dan terdakwa tidak memahami situasi ini karena dirinya hanyalah seorang perempuan muda biasa yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal orang. Pun tidak punya daya dan kekuatan untuk mengendalikan media massa.

Beda nasib dengan aktor dugaan penistaan agama. Sebagai politisi dengan jam terbang  cukup lama, beliau tampak memahami seluk beluk pembentukan personal brand. Punya tim konsultan politik yang  bertugas membangun personal brand dirinya selama ini. Media massapun dalam genggamannya karena tim konsultan politiknya menggandeng media massa sebagai sarana pembentukan personal brand. Apalagi sudah sempat menjadi media darling. Alhasil personal brandnya cukup mumpuni sehingga dipandang cukup kompeten dan menarik perhatian masyarakat untuk dipilih.

Disebut sebagai politisi yang tegas, keras dan tidak mengenal takut membuat popularitas dan elektabilitasnya tinggi. Tak heran seperti di atas angin saat pencalonan gubernur. Sampai akhirnya terjadi hal yang diluar dugaan dimana dia ‘tergelincir’ ketika berpidato di suatu pulau kecil. Tersangkut kasus dugaan penistaan agama sehingga harus duduk di kursi terdakwa dan menjalani sidang pengadilan perdana. Dan terjadilah dramatisasi air mata yang cukup mencengangkan bagi penonton!

Lantas, apa dampak air mata terhadap personal brand politisi tersebut di dunia politik? Apakah akan memperkuat atau malah melemahkan? Jika mengacu kepada teori yang saya uraikan di buku Personal Branding Kunci Kesuksesan Berkiprah Di Dunia Politik dimana dikatakan bahwa brand yang kuat dihasilkan dari upaya pembentukan brand yang konsisten(Dewi Haroen, 2014). Konsisten disini adalah upaya menanamkan secara simultan ke benak masyarakat secara terus menerus dari personal brand yang sudah terbentuk selama ini sampai kepada tahap brand equity(keunggulan merek). Konsisten  untuk melakukan upaya branding dengan realitas personal brand yang sudah ada sebelumnya.

Personal Brand aktor politisi kita selama ini adalah tegas, keras dan tidak mengenal rasa takut. Sedangkan air mata cenderung diasosiasikan sebagai kelemahan, ketidak berdayaan dan ketakutan. Terlihat bertolak belakang dan tidak konsisten. Sangat berbeda jauh dengan sebelumnya. Apalagi jika dikaitkan dengan situasi panggung pengadilan yang menuntut pertanggung jawaban pribadi sebagai seorang pemimpin. Pemimpin digambarkan sebagai laki-laki, sementara air mata digambarkan dekat dengan sifat kewanitaan yang sejatinya tidak diperlihatkan ke publik. Sehingga cenderung melemahkan Personal Brandnya.

Dan air mata tersebut tidak sesuai dengan realitas personal brand politisi yang selama ini diyakini orang. Karena dianggap bukan personal brand yang asli, maka orang akan segera menyimpulkan bahwa air mata hanyalah bagian dari pencitraan. Air mata menjadi kontraproduktif karena tidak merefleksikan karakter yang sebenarnya. Sebagaimana lakon kopi bersianida, maka akan terlihat sebagai sandiwara belaka. Diperkirakan tujuannya untuk mengejar persepsi publik agar timbul simpati. Tapi, betulkah didapat simpati dengan cara itu?

Ternyata hasilnya tidak demikian. Mengapa? Karena perilaku individu seringkali didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri (Dewi Haroen, 2014). Kuatnya suatu personal brand menggambarkan bahwa persepsi yang terbentuk di benak masyarakat sudah melekat sedemikian rupa sehingga sulit untuk mengubahnya. Itupun tidak bisa hanya dengan satu peristiwa saja. Perlu usaha yang berulang kali dan terus menerus sehingga persepsi yang lama bisa hapus/tergantikan. Nah, jika seperti itu, masih perlukah air mata di panggung sinetron pengadilan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun