Mohon tunggu...
Wistari Gusti Ayu
Wistari Gusti Ayu Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru

Guru adalah profesi yang mulia, saya bangga menjadi guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Mencintai "Pahlawan Sejati" Penjaga Air

1 September 2019   19:39 Diperbarui: 4 September 2019   15:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.naturalwhite.es

Indonesia adalah negara yang memiliki hutan yang cukup luas sebagai penyimpan cadangan air dan juga sebagai sumber oksigen. 

Tidak seperti sekarang yang telah banyak terjadi penebangan hutan secara liar, pada zaman dahulu, masyarakat Indonesia memanfaatkan hutan dengan baik, menjaga pohon dan sangat bijak mengelolanya karena kearifan lokal yang mereka miliki.

Salah satu contohnya pada masyarakat Bali, selain dikenal ramah dan memiliki toleransi tinggi, juga dikenal karena memiliki berbagai kearifan lokal yang mengajarkan mereka untuk selalu menjaga alam dan lingkungan sekitar. 

Tumpek Wariga adalah adalah salah satu kearifan lokal masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu. Pada hari Tumpek Wariga yang jatuh tiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Sabtu (Saniscara), Kliwon, Wuku Wariga umat Hindu akan melakukan persembahyangan untuk mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya menciptakan tumbuhan -tumbuhan di dunia ini.

Ritual Tumpek Wariga yang dikenal juga dengan nama Tumpek Bubuh, dimulai dari persembahan bubur, yang melambangkan kesuburan. Ritual ini juga mengajarkan masyarakat Bali untuk selalu menjaga tumbuhan yang tidak hanya menjadi sumber makanan bagi manusia, namun juga sekaligus sebagai penjaga air.

Selain di Bali, suku Sakai di Riau juga sangat menyayangi hutan mereka, dengan membagi hutan menjadi tiga bagian yaitu hutan adat, hutan larangan dan hutan perladangan. 

Pada hutan adat masyarakat dapat mengambil beberapa jenis tumbuhan seperti damar dan rotan tanpa merusak pohonnya, pada hutan larangan masyarakat sama sekali tidak boleh mengambil apapun dan pada hutan perladangan masyarakat dapat bercocok tanam.

Dari contoh di atas, kearifan lokal di Bali mampu mengajarkan manusia mencintai pohon dan menjaga kelestarian lingkungan. Walaupun karena ulah manusia, saat ini keadaan pohon di hutan dan mungkin juga pekarangan rumah sudah tidak sama seperti dulu.

Wujud mencintai pohon tetap harus kita lakukan, kita bisa memulai lagi dengan reboisasi di hutan gundul dan untuk di rumah tangga kita bisa menanam berbagai jenis bunga dan sayur atau tumbuhan lain di pekarangan rumah atau menggunakan pot pada lahan sempit. 

Kearifan lokal suku Sakai juga masih relevan diterapkan di era modern ini, hutan larangan sama halnya dengan hutan lindung yang berfungsi menyimpan cadangan air. Jadi hutan lindung harus kita pertahankan keberadaannya.

Tanpa kita sadari, pohon adalah "pahlawan sejati" penjaga air, ia adalah pahlawan sesungguhnya, yang tugasnya adalah menyerap air hujan, menyimpannya dan sebagai sistem filtrasi untuk tersedianya air bersih, serta mencegah bahaya banjir dan tanah longsor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun