Mohon tunggu...
Raden Muhammad Wisnu Permana
Raden Muhammad Wisnu Permana Mohon Tunggu... Lainnya - Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana

Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Bangganya Punya BPKB dan STNK atas Nama Sendiri

19 Mei 2021   14:10 Diperbarui: 19 Mei 2021   14:18 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BPKB dan STNK(KOMPAS.com/SRI LESTARI)

"Barangkali sepeda motor saya ini memang butut, tapi STNK dan BPKB motor ini atas nama saya sendiri, lho."

Kira-kira itulah moto kalimat yang saya pegang saat ini setelah melakukan proses ganti nama STNK dan BPKB atas sepeda motor yang saya beli dari teman kuliah saya pada tahun 2019 yang lalu. Saya baru memiliki sepeda motor pada tahun 2019, setelah 2 tahun lulus kuliah pada usia 27 tahun. Saya tidak memiliki privilege seperti teman-teman sebaya saya yang sudah memiliki sepeda motor saat berada di bangku kuliah karena saya bukanlah anak Aburizal Bakrie yang kaya raya.

Setelah dua tahun lulus kuliah, yakni pada tahun 2019, saya bekerja di salah satu kantor konsultan lingkungan hidup. Gaji dari penghasilan tersebut saya tabung sedemikian rupa hingga akhirnya saya memutuskan untuk membeli sepeda motor dengan jenis Honda Astrea Supra tahun 2001 yang dijual oleh salah satu teman kuliah saya. Saat itu saya memang berniat untuk mencari sepeda motor bekas untuk mobilitas saya selama ini dengan budget 3-4 jutaan.

Tentu saja, dengan uang segitu, sebetulnya saya bisa melunasi uang muka dari motor-motor terbaru keluaran tahun 2019. Namun saya pikir, hal tersebut tidak berfaedah. Daripada membeli motor baru dengan harga di atas 15 jutaan, ya mending beli motor bekas dengan harga 3-4 jutaan saja. Jauh lebih hemat. Selain itu, biaya perawatan dan pajak kendaraan bermotor keluaran lama jauh lebih murah dibandingkan motor baru. Ya kalau bisa milih saya juga pengennya punya sepeda motor sport dengan kapasitas mesin lebih dari 250 cc, tapi ya apa boleh buat, saya belum mampu membeli dan membayar pajaknya, jadi pilihannya beli sepeda motor bekas.

Saya mencari informasi motor bekas yang dijual dengan sejumlah kesulitan karena saya adalah orang yang tidak mengerti otomotif sama sekali. Bisa saja saya survey sepeda motor dengan mengajak teman saya yang jauh lebih mengerti otomotif, tapi ya nanti ribet, jadi saya mencari sendiri saja. Saya sudah COD dengan lebih dari sepuluh orang yang menjual sepeda motor di Kota Bandung, tapi hasilnya tidak memuaskan karena kondisi sepeda motor yang tidak sesuai dengan apa yang ditayangkan pada iklannya di internet. Padahal saya berkali-kali naik ojek online buat COD-an sama berbagai macam penjual sepeda motor tapi harus kecewa. Sejak saat itu, saya berniat untuk membeli sepeda motor dari circle terdekat saya saja, biar kalau ada apa-apa gampang buat komplain dan untuk menghindari penipuan.

Akhirnya suratan takdir berkata lain, pada awal 2019, saya memperoleh info bahwa salah satu teman saya menjual sepeda motor Honda Astrea Supra tahun 2001, dan saya langsung mengajak ketemuan untuk melihat-lihat motornya. Sepeda motor tersebut kondisi mesinnya sangat bagus meskipun banyak minus disana-sini seperti body motor yang sudah termakan usia, aki yang tidak jalan, hingga jok motor yang banyak bekas cakaran kucing. Daripada ribet COD sama belasan orang random di internet lagi, saya pun membeli sepeda motor tersebut dengan nominal 3,8 juta Rupiah, yang penting kalau pergi gak pakai angkot atau ojek online lagi deh.

Seiring berjalannya waktu, sebagai orang yang masih awam sepeda motor, saya banyak kena tipu oleh oknum bengkel sepeda motor seperti dimahalin waktu service, hingga membeli spare part yang tidak butuh. Misalnya saya hanya membutuhkan komponen A saja, bengkel menyuruh saya untuk membeli komponen A, B, C dan D. Sialnya saya langsung setuju saja karena masih awam.

Beberapa tahun pemakaian, sepeda motor saya pun mengalami kebocoran oli yang diakibatkan oleh adanya keretakan pada bagian crankcase. Salah satu faktornya adalah terlalu keras saat mengganti oli, maupun tidak sengaja menabrak polisi tidur yang dibuat terlalu tinggi. Biaya untuk mengganti crankcase serta tarif turun mesinnya pun sangat tinggi, sampai 700 ribu Rupiah di bengkel resmi Honda maupun beberapa bengkel sepeda motor lainnya yang saya survei. Saya pun akhirnya pasrah saja dan membiarkan kebocoran itu terjadi sampai sekarang, dengan menambahkan volume oli satu minggu sekali secara mandiri agar olinya tidak sampai habis. Dan tidak pernah mogok sampai sekarang.

Pada Juni 2021 ini sepeda motor tersebut habis masa berlakunya sehingga saya harus melalukan proses ganti nama sekaligus perpanjang lima tahunan. Proses tersebut memakan waktu satu bulan karena sepeda motor tersebut harus saya mutasi dari Kota Cimahi ke Kota Bandung. Setelah proses panjang tersebut akhirnya saya sudah memiliki STNK atas nama sendiri, dan satu bulan kemudian saya memperoleh BPKBnya.

Sepeda motor ini memang baru dua tahun saya miliki, tapi sudah begitu banyak kenangannya. Mulai dari bolak-balik kantor saat saya masih kerja kantoran, bolak-balik Padalarang-Bandung-Rancaekek saat saya bekerja menjadi kurir, mengantarkan saya pada puluhan wawancara kerja yang gagal, hingga menjadi saksi saya ditolak mentah-mentah oleh cewek yang saya dekati karena dia bilang tidak nyaman dengan joknya yang sempit dan helmnya yang tidak nyaman untuknya. Kehujanan dan kebanjiran, kepanasan saat menunggu lampu merah, sampai ditilang karena lampu sepeda motor saya yang mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun