Setiap tanggal 23 September, bangsa ini memperingati Hari Maritim Nasional, berbarengan dengan Hari Bahari Nasional. Peringatan ini sering berlalu begitu saja, kalah gaung dibanding peringatan hari-hari nasional lain.Â
Padahal, laut adalah urat nadi Nusantara, penghubung sekaligus penopang masa depan Indonesia. Tanpa kesadaran maritim yang kokoh, kita akan kehilangan arah di tengah pusaran dunia yang kian kompetitif.
Sejarah penetapan Hari Maritim Nasional mencatat beberapa tonggak penting: pidato Presiden Soekarno pada 1953 tentang cita-cita bangsa pelaut; Deklarasi Djuanda 1957 yang memperluas definisi kedaulatan laut Indonesia; Musyawarah Nasional Maritim I pada 1963 yang menegaskan pentingnya laut bagi NKRI; hingga keluarnya SK Presiden Nomor 249 Tahun 1964 yang resmi menetapkan 23 September sebagai Hari Maritim Nasional. Semua itu menegaskan, identitas Indonesia bukan hanya agraris atau kontinental, melainkan maritim.
Namun, enam dekade setelah Deklarasi Djuanda, pertanyaan mendasar masih menggantung: sudahkah kita benar-benar menjadi bangsa maritim? Ironisnya, laut yang seharusnya menjadi penghubung antar-pulau justru sering dianggap sebagai pemisah. Infrastruktur pelabuhan masih timpang, tol laut belum sepenuhnya menjawab kesenjangan logistik, dan sektor perikanan sering kalah oleh praktik illegal fishing yang menguras sumber daya kita. Laut kita luas, tetapi nelayan kita kecil. Armada kita banyak, tetapi belum berdaulat.
Hari Maritim Nasional seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan momen refleksi kolektif. Ada beberapa pesan penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, kesadaran kelautan. Bangsa ini terlalu lama berpaling dari laut, seolah ia sekadar halaman belakang. Padahal, dalam laut tersimpan kekayaan energi, pangan, jalur perdagangan, hingga peluang pariwisata bahari kelas dunia. Kedua, kedaulatan maritim. Laut bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga arena geopolitik. Sengketa perbatasan laut, konflik nelayan, hingga persaingan jalur perdagangan di Laut Cina Selatan menunjukkan bahwa laut adalah ruang strategis yang menentukan masa depan kedaulatan kita. Ketiga, kelestarian laut. Mengelola laut tanpa kesadaran ekologis hanya akan mempercepat kehancuran. Sampah plastik, pencemaran, hingga kerusakan terumbu karang adalah alarm keras bahwa kita sedang merusak warisan generasi mendatang.
Dalam konteks Indonesia Emas 2045, visi kejayaan maritim tidak bisa lagi ditunda. Kita membutuhkan strategi nasional maritim yang konsisten, lintas rezim pemerintahan. Perlu investasi besar pada infrastruktur pelabuhan, armada logistik, serta riset dan teknologi kelautan. Pendidikan maritim, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, harus digalakkan agar generasi muda kembali merasa laut adalah masa depan mereka. Tanpa itu semua, jargon "Poros Maritim Dunia" akan tinggal slogan yang kosong.
Kita bisa belajar dari bangsa lain. Jepang menjadikan laut sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi. Singapura, meski kecil, mampu menjadikan pelabuhannya sebagai simpul perdagangan global. Sementara kita, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, justru masih tertatih mengurus logistik antarpulau sendiri. Ironi ini hanya bisa diakhiri dengan keberanian politik dan kesadaran nasional yang berakar pada sejarah. Soekarno sudah meletakkan fondasi melalui Deklarasi Djuanda dan Munas Maritim, kini tugas kita adalah melanjutkannya.
Peringatan 23 September seharusnya menggugah kembali jati diri kita sebagai bangsa bahari. Bahwa laut bukan sekadar ruang biru di peta, melainkan darah kehidupan Nusantara. Bahwa laut bukanlah pemisah, melainkan pengikat dan pemersatu bangsa. Bahwa kejayaan Indonesia hanya bisa diraih jika kita kembali ke laut.
Bangsa yang lupa pada laut adalah bangsa yang kehilangan kompas sejarahnya. Maka, Hari Maritim Nasional bukan hanya ritual seremonial, melainkan ajakan untuk merebut kembali takdir kita: menjadi bangsa pelaut yang besar, kuat, dan berdaulat di samudra dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI