Ada sebuah kolam luas, airnya jernih, selalu mengalir sejuk, penuh oksigen, dan nyaman bagi para penghuninya. Di dalamnya hidup ratusan ikan koi berwarna-warni, berenang ke sana kemari dengan riang. Mereka bercanda, mencari makan, bermain di antara riak air, dan menikmati ketenangan yang diberikan oleh kolam itu.
Namun, di antara ikan-ikan itu, ada seekor yang gelisah. Ia mendengar bisikan entah dari mana---kabar samar bahwa di luar kolam ada dunia lain yang lebih indah, lebih nikmat, lebih bebas. Dunia tanpa batas dinding kolam, dunia dengan air yang katanya lebih segar, makanan lebih lezat, dan cahaya lebih terang.
Bisikan itu membuatnya resah. Setiap kali teman-temannya berenang dengan gembira, ia justru menatap ke permukaan, membayangkan "kehidupan baru" yang dijanjikan itu. Dengan keberanian bercampur kebodohan, ia mengerahkan seluruh tenaga untuk melompat keluar.
Sekejap, ia berhasil. Tubuhnya melayang, melewati batas air, melompati dinding kolam, lalu jatuh ke tanah keras. Sesaat ia bangga, seolah mimpi itu telah tercapai. Namun, dalam hitungan detik, ia sadar---tidak ada air, tidak ada oksigen, tidak ada kehidupan di sana. Tubuhnya megap-megap, sisiknya mengering, dan dunia luar yang ia bayangkan indah, ternyata tak lain adalah kematian perlahan.
Teman-temannya masih berenang tenang di dalam kolam, tak mengerti mengapa ada yang nekat meninggalkan rumah yang sesungguhnya aman. Tapi semua sudah terlambat. Ia tak bisa kembali, dan kisahnya menjadi peringatan pahit bagi ikan-ikan lain yang sempat tergoda oleh kabar bohong itu.
Dari Kolam ke Dunia Nyata
Kisah ikan koi ini sejatinya adalah cermin bagi manusia.Â
Ada yang tergoda meninggalkan tanah airnya karena percaya pada propaganda indah yang dibisikkan dari luar. Janji-janji manis itu seakan lebih memesona daripada kenyataan yang ada di depan mata.
Kita pernah mendengar cerita tragis tentang mereka yang terbuai janji kelompok teroris seperti ISIS. Propaganda mereka seolah menawarkan "kehidupan Islami sejati" di tanah asing. Banyak orang yang tergoda, meninggalkan keluarga, meninggalkan negeri, hanya untuk menemukan bahwa yang menanti adalah kehancuran. Mereka dijadikan pion di medan perang, hidup dalam penderitaan, dan banyak yang akhirnya tewas tanpa sempat kembali.
Ada pula yang rela menjadi tentara bayaran di negeri konflik, tergiur bayaran besar. Mereka berpikir bisa mengubah nasib dengan cara instan. Nyatanya, mereka hanya dijadikan alat dalam permainan perang yang tak pernah mereka pahami. Pulang pun sulit, karena mereka sudah dicap kriminal internasional atau pengkhianat.
Belakangan, kita juga mendengar kabar banyak anak muda yang tertipu lowongan kerja palsu di luar negeri. Dengan dalih gaji besar, mereka dijebak masuk ke jaringan kartel judi online atau sindikat penipuan internasional. Alih-alih mendapat pekerjaan layak, mereka disekap, dipaksa bekerja seperti budak, bahkan tak sedikit yang meregang nyawa tanpa pernah bisa kembali ke pangkuan keluarganya.
Semua kisah ini memiliki benang merah yang sama: iming-iming surga di luar ternyata hanya fatamorgana. Dunia luar yang digambarkan penuh kebebasan dan kemakmuran, pada kenyataannya bisa menjadi tempat paling mematikan.
PenutupÂ
Hidup di tanah air memang tidak selalu mudah.Â
Ada tantangan, ada kekurangan, ada ketidakadilan. Namun, meninggalkan negeri sendiri karena rayuan propaganda palsu justru sering membawa pada kehilangan yang lebih besar: kehilangan jati diri, kehilangan rasa aman, bahkan kehilangan nyawa.