Di tengah dunia yang penuh hiruk-pikuk konflik, polarisasi sosial, dan degradasi nilai, muncul satu pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya menjaga peradaban tetap beradab?
Jawabannya mungkin tidak tunggal, tetapi tiga pilar ini saling menopang: agama, kemanusiaan, dan kecerdasan sosial.Â
Tiga kekuatan ini---bila berjalan berdampingan---dapat menjadi fondasi kokoh bagi masyarakat yang inklusif, damai, dan bermartabat.
Namun, saat salah satu hilang atau dilemahkan, kita menyaksikan kegagalan etika kolektif, radikalisme, dan bahkan pembenaran kekerasan atas nama nilai yang seharusnya suci.
Agama: Kompas yang Harus Mengarah pada Kasih
Agama hadir bukan untuk menciptakan sekat, tetapi jembatan. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi menuntun. Dalam sejarah peradaban, agama telah memainkan peran sentral dalam membangun tatanan sosial---dari hukum, seni, hingga etika publik. Namun, agama juga kerap disalahgunakan.
Ketika agama hanya difokuskan pada simbol, ritual, atau doktrin yang tak mampu berdialog dengan kemanusiaan, maka ia rentan menjadi alat eksklusivisme. Lebih jauh, dalam sejarah kita, agama kerap dijadikan legitimasi untuk kekuasaan yang represif---mulai dari diskriminasi kelompok minoritas, penolakan bantuan kemanusiaan, hingga pembenaran kekerasan sektarian.
Padahal, ajaran-ajaran inti semua agama berbicara tentang nilai universal: cinta kasih, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam konteks ini, agama perlu kembali ke fungsi hakikinya: kompas moral yang mengarahkan umat untuk menjadi manusia yang utuh---beriman sekaligus berperikemanusiaan.
Kemanusiaan: Denominator yang Menyatukan
Di atas semua perbedaan keyakinan, ideologi, dan bangsa, terdapat satu bahasa yang bisa dimengerti oleh semua: kemanusiaan.
Prinsip ini menuntun kita untuk menempatkan martabat manusia sebagai nilai tertinggi. Bahwa siapa pun, dari latar belakang apa pun, berhak untuk hidup dengan aman, dihormati, dan diakui sebagai manusia seutuhnya.