Serial Anne with an EÂ merupakan drama Kanada yang diadaptasi dari novel klasik Anne of Green Gables karya Lucy Maud Montgomery, dan telah menjelma sebagai tayangan yang bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga menyampaikan pesan sosial mendalam. Serial ini menceritakan Anne Shirley, seorang anak yatim piatu yang dikenal karena kecerdasannya, imajinasinya yang liar, dan cara pandangnya yang tak biasa yang kemudian diadopsi oleh dua saudara kandung, Marilla dan Matthew Cuthbert, yang tinggal di Green Gables.Â
Uniknya, setiap episode serial ini disutradarai oleh 11 sutradara yang berbeda. Nama-nama besar seperti Paul Fox, Amanda Tapping, hingga Kim Nguyen, berkolaborasi menciptakan beragam nuansa visual dan gaya penceritaan yang unik di tiap episodenya. Kolaborasi para sutradara ini membuat serial ini kaya akan perspektif, menjadikannya bukan sekadar drama keluarga, tapi karya yang memancing perenungan mendalam tentang isu penting, seperti identitas, feminisme, bullying, hingga self-worth.
Membongkar Imajinasi Anne: Bukan Delusi, Tapi Strategi Bertahan Hidup
Sejak awal kemunculannya, Anne digambarkan sebagai gadis yang "berbeda", sering kali dianggap berlebihan karena cara bicaranya yang puitis dan imajinasi liarnya yang tak ada habisnya. Namun di balik itu semua, terdapat mekanisme bertahan hidup yang cerdas dari seorang anak yang telah mengalami banyak penolakan dan trauma sejak usia dini.
Alih-alih menjadi pelarian, imajinasi justru menjadi ruang aman bagi Anne. Dalam realitas yang sering kali keras dan tidak adil, ia menciptakan dunia alternatif yang tidak mengekangnya. Imajinasi menjadi perlawanan simbolik terhadap struktur sosial yang membungkam suara perempuan, khususnya anak-anak perempuan dari kelas bawah. Anne tidak melarikan diri dari kenyataan, ia menciptakan kenyataan yang bisa ia atur.
Merekonstruksi Tubuh dan Identitas Melalui Imajinasi
Salah satu momen paling menyentuh dalam serial ini adalah ketika Anne sering membayangkan dirinya memiliki rambut indah, mengenakan gaun mewah, dan memiliki nama yang eksotik. Imajinasi tersebut bukan sekadar mimpi anak-anak, melainkan bentuk klaim atas tubuh dan identitas yang selama ini direndahkan oleh masyarakat.
Dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan sering kali hanya dilihat sebagai objek untuk dinilai dan dikontrol. Namun bagi Anne, imajinasi adalah alat untuk merebut kembali tubuhnya dan mendefinisikannya sesuai versinya sendiri. Ia tidak tunduk pada norma, melainkan menciptakan norma barunya sendiri melalui narasi dan metafora. Di sinilah kekuatan puitis Anne menemukan daya guncangnya.
Perjuangan Kelas Sosial yang Tak Terucap Tapi Terasa
Latar belakang Anne sebagai yatim piatu yang hidup berpindah-pindah membuatnya terasing dalam struktur masyarakat yang memuja stabilitas dan asal-usul. Namun, dalam dunia imajinasinya, kelas sosial tidak berlaku. Anne bisa menjadi siapa saja---putri kerajaan, penyair, atau pahlawan---dan semua itu adalah bentuk pengakuan terhadap harga diri yang selama ini ditolak oleh dunia nyata.