Mohon tunggu...
Daniel Wiratraur
Daniel Wiratraur Mohon Tunggu... Lainnya - Ad Maiorem Gloriam

WNI tinggal di Larantuka

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pegawai Negeri Berprestasi, Realistiskah Itu?

9 November 2011   10:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:53 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh

Daniel Wirat Raul

Mahasiswa pada Jurusan Sosiologi Fisip Universitas Terbuka

Adalah seorang cendekiawan Indonesia terkemuka Mochtar Lubis, pada tahun 1977 menyampaikan pidato tentang manusia Indonesia. Disebutlah sifat-sifat manusia Indonesia itu misalnya, munafik, hipokrit, feodal, mistis, dan malas-malasan. Sebuah gambaran pesimis barangkali secara fragmentaris dialamatkan juga kepada para pegawai negeri yang ada di tanah air ini. Alasan ini dapat juga dicari pada pendapat seorangJ.M. Brouwer yang tanpa segan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara pegawai sehingga dengan demikian di Indonesia sebagian besar masyarakatnya menjadikan kedudukan pegawai negeri sebagai ideal yang wajib diraih. Pegawai negeri menjadi status yang paradox, di satu pihak dia mengalami surplus nilaisebagai status sosial yang paling dibidiktetapi di lain pihak serentakdia mengalami defisit nilai akibat pelbagai stereotype yang dideritanya.

Defisit nilai pegawai negeri

Dalam diskursus publik, nada-nada peyoratifitu pun masih dapat disaksikan dalam serangkaianpendapat tentang pegawai negeri antara lain : Jika anda ingin menjadi kaya maka janganlah menjadi Pegawai Negeri. Jadilah anda seorang pengusaha, wiraswastawan karena jika anda menjadi pegawai negeri anda memasuki suatu areal penuh restriksi baik dari penghasilan, waktu kerja dll. Dengan begitu, serentak anda mesti belajar untuk menjadi orang yang sederhana, yang tidak menyimpan impian besar tentang kegemerlapan materi yang bertabur kemewahan.

Penggalan kalimat di atas adalah sebuah penghayatan yang hidup dalam benak sebagian masyarakat kita tentang status seorang pegawai negeri. Dengan begitu, masyarakat sedang melukis jati diri yang dimiliki seorang pegawai negeri yaitu manusia dengan penghasilan yang hanya bisa bertahan hidup, melakukan pekerjaan yang serba rutin dan membosankan dikarenakan variasi pekerjaan dan alur atau ritme pekerjaan yang selalu yang itu-itu saja.

Jika pandangan sudah sepesimis itu, maka masih realistiskah berbicara tentang prestasi ketika pembicaraan itu menyenggol sisi hidup manusia pegawai negeri. Meskipun derajad kepercayaan telah turun sampai titik nadir pembicaraan tentang prestasi masih tetap relevan dan diperlukan oleh para pegawai negeri.

Jalan terjal meraih prestasi

Dalam konteks pegawai negeri,prestasi adalah hal yang amat terkait dengan pelaksanaan pekerjaan yang biasanya ditinjau dari beban kerja, jangka waktu pekerjaan, out put atau hasil yang dicapai dari pekerjaan. Dengan begitu seorang pegawai negeri dinilai berprestasi jika ia dapat melaksanakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan hasil dari pekerjaan tersebut bernilai guna terhadap pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan.

Sekurang-kurangnya ada tiga event penting dalam siklus perjalanan seorang pegawai negeri yang membuatnya bisa lebih menghayati, mengalami apa yang disebut sebagai prestasi yaitu peristiwa kenaikan pangkat pegawai negeri, penganugerahan satya lencana dan pemberian tugas belajar. Khusus mengenai hal terakhir ini makna prestasi menjadi lebih terhayati karena pemberian tugas belajar berangkat dari alasan-alasan seperti adanya kebutuhan organisasi terhadap suatu disiplin ilmu dan penilaian terhadap kemampuan akademik pegawai negeri untuk dapat mengemban tugas belajar dimaksud serta kualifikasi moral, etik dan qonduite integritas diri yang baik walaupun esensi event itu mudah digeser pada sejumlah alasan yang tidak rasional seperti event pemberian tugas belajar diminati karena ada penyertaan dana pada mahasiswa tugas belajar yang membuatnya eksklusif dibandingkan dengan izin belajar sehingga metode spiral tentang siapa yang dekat dengan kekuasaan dialah yang dilayani menjadi pendekatan yang rentan digunakan.

Menghadapi tudingan akan defisit nilai,pegawai negeri sebenarnya ditantang untuk membuktikan sebaliknya bahwa dengan status yang disandangnya ia dapat mengukir prestasi yang dapat mengantitesa anggapan yang umum beredar. Menurut J. Wood sebagaimana yang dikutip oleh Wilfridus B Elu dan Joko Purwanto (Universitas Terbuka, 2009:2.2-2.24) sekurang-kuranganya ada tiga hal yang memformulasi prestasi bagi seorang pegawai negeri yaitu : pertama tersedianya faktor individual yang meliputi kecakapan seorang pegawai negeri untuk melakukan sesuatu, sikap, kepribadian; kedua adanya motivasi yaitu gerakan diri untuk melakukan pekerjaan dan hal ini ditandai dengan tumbuhnya kemauan dalam diri pegawai negeri untuk bekerja dan memperoleh hasil yang maksimal ; ketiga dukungan organisasi yang nampak dalam penyediaan kesempatan seorang pegawai untuk melakukan sesuatu dalam hal ini adalah ketercukupan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan, kecukupan anggaran dan sarana, perlakuan yang adil, kelenturan atau ketidakkakuan prosedur.

Terkait dengan kelenturan dan fleksibilitas, pegawai berprestasi memerlukan sebuah ruang kreativitas. Dan kreativitasatau proses kreatif mengandung maksud : kepekaan menangkap potensi persoalan yang akan dihadapi dan masalah yang sedang berkembang serta diikuti sejumlah upaya mulai dari merumuskan ide sampai dengan penterjemahan ide ke dalam praktek demi mengatasi masalah atau menyelesaikan sebuah pekerjaan yang diembankan. Pribadi yang kreatif dengan sendirinya adalah mereka yang mampu mengambil jarak terhadap struktur sosial yang dimasukinya. Pegawai negeri yang kreatif bukanlah mereka yang sepenuhnya menyesuaikan diri dengan struktur yang dimasuki atau mereka yang tindakannya mengacuh sepenuhnya pada semua kode peraturan sehingga dengan demikian menjadi begitu rigid dan legalistik. Mereka bisa mencari keseimbangan antara ekspresi individual di satu pihak dan ungkapan perilaku kolektif di pihak lain.

Kreativitas mengandaikan subjektivitas dari seorang pegawai negeri. Ini bermaksud tersedianya suatu derajad otonomi yang mencukupi bagi seorang pegawai negeri bahwa tindakan yang dilakukan tidak semata-mata didasarkan kepada apa yang telah dikatakan di dalam norma yang berlaku tetapi diberangkatkan dari suatu kesadaran yang melewati lika-liku lorong refleksi dan diskresi. Jika pun pilihan tindakan yang dilakukan itu akhirnya sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh norma atau aturan itu bukan berarti sebuah kepasrahan atau sikap menyerah yang membuta tetapi lebih dari itu merupakan suatu integrasi dan sinkronisasi dari sebuah sikap pribadi dan tuntutan struktur organisasi.

Serentak dengan itu, David McCleland dengan teori kebutuhannya ( theory of need) menengarai bahwa selain digerakkan oleh kebutuhan berafiliasi atau menjalin hubungan dengan orang lain dan kebutuhan memperoleh kekuasaan di mana individu dapat mempengaruhi dan mengendalikan orang lain, perilaku individu secara determinatif juga digerakkan oleh achievment of need yaitu kebutuhan untuk berprestasi yakni tingkat kebutuhan di mana individu merasa penting untuk dapat memecahkan masalah, bekerja secara lebih baik dan dapat mengatasi kerumitan yang dijumpai dalam perjalanan menyelesaikan pekerjaan atau memperbaiki kualitas kerja. Atas dasar itu McCleland berkeyakinan bahwa hanya masyarakat yang mempunyai tingkat kebutuhan terhadap prestasi yang tinggi saja yang bisa mencapai suatu derajad ekonomi yang tinggi. Masyarakat dengan struktur motivasi demikianlah yang dapat menciptakan pekerja berprestasi.

Tak ada jalan mudah untuk dapat mengukir prestasi walaupun para pakar telah membentangkan seluruh teoriyang dapat dirumuskan. Prestasi pada akhirnya adalah sebuah operasionalisasi dalam alur waktu. Dia butuh penterjemahan dalam tindakan setelah cukup waktu menggantung di langit pikiran dan perasaan. Selamat mengusahakan prestasi.

Larantuka, 14 oktober 2011

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun