Surabaya, 23 Juni 2025 --- Bertempat di Gedung Graha Sawunggaling lantai 6, Pemerintah Kota Surabaya bersama mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya menggelar kuliah lapangan dan praktikum bertajuk "Sinau Politik Bareng Wawali Cak-Ji". Kegiatan ini merupakan bagian dari praktikum mata kuliah Sistem Politik Indonesia dan menjadi ruang pembelajaran yang mempertemukan teori politik dengan realitas praktik pemerintahan di lapangan.
Mengusung tema besar "Logika Berpikir dalam Proses Koalisi Maupun Oposisi Partai-Partai Politik dalam Pemerintahan: Buah Simalakama Logical Fallacy Menuju Pragmatisme Politik dan Authority Fallacy", para mahasiswa diajak mengkaji secara kritis fenomena politik lokal, khususnya terkait absennya oposisi formal di DPRD Kota Surabaya.
Koalisi Total: Keseimbangan Demokrasi yang Terancam
Dalam pemaparan dari dua mahasiswa Kelompok 2, Sasa dan Wira, terungkap bahwa seluruh fraksi di DPRD Surabaya saat ini tergabung dalam barisan koalisi pemerintahan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan fundamental: jika semua fraksi berada dalam koalisi, siapa yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif?
Fenomena serupa juga terjadi di tingkat nasional. Koalisi Indonesia Maju (KIM) saat ini menguasai 81% kursi di DPR RI, menyisakan hanya 19% untuk oposisi. Ketimpangan ini dinilai berpotensi melemahkan mekanisme check and balance yang menjadi pilar utama sistem demokrasi.
Isu-isu strategis seperti pengesahan RUU TNI dan gerakan penyelamatan Raja Ampat pun menjadi sorotan. Dalam kedua kasus tersebut, suara penolakan dan kritik justru lebih nyaring datang dari masyarakat sipil ketimbang dari partai politik, yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan.
Fallacy Politik dan Pilihan Pragmatis
Diskusi ini juga mengangkat dua bentuk kekeliruan berpikir (logical fallacy) yang sering muncul dalam praktik politik:
Authority Fallacy: keyakinan bahwa setiap kebijakan pasti benar hanya karena berasal dari otoritas pemerintahan.
False Dilemma: pandangan sempit bahwa partai politik hanya punya dua pilihan---bergabung dalam koalisi atau terpinggirkan.