Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Uang Vs Para Penyeru Perlawanan !

30 Agustus 2015   07:59 Diperbarui: 30 Agustus 2015   07:59 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh. Purwaladra

Malam ini 29/08/2015, Mata Najwa, mengangkat tema diskusi “Penyeru Perlawanan.” Salah satu tokoh yang diangkat yaitu, sosok Widji Tukul, yang sampai hari ini belum di ketahui rimbanya, apakah ia masih hidup atau sudah mati.  Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963, meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui, hilang sejak diduga diculik, 27 Juli 1998 pada umur 34 tahun. Ia adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer (https://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul).

Banyak ‘Penyeru Perlawanan’ di republik ini yang mati mengenaskan. Sebut saja seorang Munir, yang bernama asli Munir Said Thalib Al-Kathiri, lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1964, meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 39 tahun. Ia adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.

Satu lagi dari banyak aktivis HAM lainnya, selaku ‘Penyeru Perlawanan’, yakni Marsinah, yang lahir di Nglundo, 10 April 1969, ia meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun. Ia juga seorang aktivis, dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Para penyeru perlawanan diatas, tentu tak menginginkan mati seperti itu, namun situasi dan kondisi saat itu berkisah lain. Mereka seakan harus mati dengan mengenaskan !. Motif dari semua pembunuhan ini adalah uang. Para Penyeru Perlawanan berjuang untuk menyingkap ketidak-adilan, sementara uang begitu berkuasa sejak sistem kapitalisme berkuasa di negeri ini. Uang menguasai para politikus, pejabat negara dan pimpinan perusahaan. Sampai hari ini, uanglah yang banyak mengantarkan para pejabat negara dan para pengusaha ke penjara-penjara di Sukamiskin, Bandung.

Memang, uang bukanlah segalanya. Namun, segalanya akan susah, jika kita tidak punya uang. Banyak orang, sadar atau tidak, mengabdikan hidupnya untuk mencari uang. Dia mengorbankan hampir segalanya, termasuk orang-orang yang ia cintai, supaya bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa uang adalah Tuhannya.


Menurut Michael Sandel, dalam bukunya What Money Can’t Buy, The Moral Limits of Markets, Penguin, New York, 2013, menjelaskan, bahwa kehadiran uang juga bisa menciptakan ketidakadilan. Orang-orang yang memiliki uang akan membayar lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan fasilitas lebih banyak. Sementara, orang-orang yang memiliki uang lebih sedikit juga akan mendapatkan fasilitas yang lebih sedikit, atau tidak sama sekali. Jika pola ini berulang di berbagai bidang kehidupan (pendidikan, politik, ekonomi), dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan tercipta kesenjangan sosial yang besar, yang berpeluang menciptakan konflik di masyarakat.

Selanjutnya, uang memiliki efek korup. Dalam arti ini, korupsi berarti penurunan nilai dari apa yang kita kerjakan. Ketika kita membantu orang, kita melihat tindakan kita sebagai sesuatu yang bernilai. Namun, ketika orang yang kita bantu membayar kita, nilai tindakan kita berubah menjadi semata nilai ekonomi yang bisa diukur dengan uang. Dalam arti ini, ‘nilai membantu’ telah dikorup menjadi semata ‘nilai ekonomi,’ karena nilai yang sesungguhnya dari tindakan membantu telah luntur, karena telah disentuh dengan uang.

Uang juga melahirkan godaan yang besar untuk korupsi, yakni menggunakan uang bersama untuk kepentingan pribadi. Sistem politik dan hukum Indonesia adalah contoh paling jelas, bagaimana uang telah mengaburkan semua nilai, dan menggantinya semata menjadi nilai ekonomi, sehingga mengundang orang untuk melakukan korupsi. Ketika sistem politik dan hukum di posisi puncak telah korup, maka semua segi kehidupan masyarakat lainnya juga akan korup. Ikan akan membusuk dari kepalanya, lalu seluruh badannya pun akan membusuk.

Kemudian, ketika uang dijadikan sebagai idiologi, maka ia telah merusak nilai-nilai luhur manusia, yang tercermin di dalam rumusan hak-hak asasi manusia. Uang adalah musuh utama penegakkan hak-hak asasi manusia, baik di tingkat nasional maupun global. Ia mengancam kedamaian hidup bersama, karena setiap orang tergoda untuk menjadi rakus akan uang. Dan, kalau perlu uang bisa dijadikan sebagai alat untuk menghilangkan nyawa para ‘penyeru perlawanan’ atas ketidakadilan yang diperjuangkan.

Ketika nilai-nilai itu luntur, akibat sepak terjang uang yang tanpa aturan, maka masyarakat pun akan ikut hancur. Hidup bersama akan menjadi amat sulit, karena setiap orang menjadi begitu egois untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih lagi, kalau perlu dengan merugikan orang lain, atau kepentingan bersama. Oleh karena itu, peran uang harus terus dibatasi dengan peraturan, hukum dan moralitas, supaya ia menjadi alat untuk kebaikan bersama, bukan tujuan utama, apalagi sebagai alat untuk membunuh sesama ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 30 Agustus 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun