Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Budak-budak Korporat

13 September 2018   22:57 Diperbarui: 15 Mei 2021   22:18 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Oleh. Purwalodra

Selepas SMK kemaren, anak saya bercita-cita ingin bekerja. Menurutnya, dengan bekerja, ia akan mendapatkan uang untuk membeli apapun yang ia mau. Dengan bekerja, ia tidak lagi merengek minta uang kepada orang tuanya, atau dengan bekerja ia bisa melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi. 

Terkait dengan pernyataan yang terakhir ini, saya sedikit berfikir dalam hati, bagus juga ide anak saya ini, jika ia bisa bekerja sambil melanjutkan pendidikan atawa kuliah. Tapi, dimana ada perusahaan yang menghendaki buruh-buruhnya belajar atau kuliah ?!!

Dengan berbagai cara, saya membujuk agar anak saya mau melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, dan menunda untuk bekerja di perusahaan. Bahkan, saya berusaha memberikan contoh pada anak-anak dengan menjadi mahasiswa S1 lagi di salah satu perguruan tinggi. Dengan keterbatasan mengungkapkan argumen, saya mengatakan bahwa jika kalian sekarang bekerja di perusahaan, kalian hanya mendapatkan uang, tidak lebih dan tidak kurang. 

Namun, jika kalian ikut saran Bapak untuk mau kuliah, selain uang, kalian akan mendapatkan lebih banyak dari itu, bahkan derajat, kemuliaan dan kebermaknaan hidup di dunia dan akherat akan kalian dapatkan. "Bapak mohon agar kalian tunda dulu bekerja di perusahaan !!?" Itulah permintaan terkhir saya kepada anak kedua saya, dengan harapan ilmunya kelak akan mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya dan orang lain, tanpa nilai-nilai perbudakan yang sudah kasat mata saat ini !!!

Memang semangat industrialisasi yang dipicu oleh energi kapitalisme saat ini, selalu mensyaratkan agar buruh-buruhnya tetap dalam kondisi marginal, dan hampir setiap perusahaan tidak menghendaki buruh-buruhnya melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Mereka harus kerja, kerja dan kerja !!! Fakta ini terlihat, ketika banyak mahasiswa yang saya ampu, mengeluhkan sikap atasan dan kebijakan perusahaannya dalam mempersulit proses perkuliahannya, bahkan mengancam untuk mem-PHK, jika diketahui buruh-buruhnya menjadi mahasiswa.

Saat ini, menjadi buruh, karyawan atawa pegawai di Indonesia harus siap kerja, disiplin, produktif, efektif, efisien dan tetek bengek lainnya. Sementara, pendidikan atawa sekolah  yang dibiayai oleh perusahaan, hanya bertujuan untuk lebih memacu cara kerja buruh, agar lebih disiplin, lebih produktif, lebih efektif, lebih efisien dan lebih-lebih lainnya. 

Pendidikan atau istilah kerennya 'Pengembangan' bagi perusahaan, bukan bertujuan untuk memanusiakan manusia, namun hanya sebatas mengasah 'How to' saja. Karena setiap perusahaan menghendaki para buruhnya tetap seperti robot-robot yang mudah dikendalikan melalui remot control. Inilah budak-budak yang sengaja diciptakan di era modern saat ini. Karena, tanpa perbudakan tak ada modernitas, dan tanpa perbudakan tak ada semangat kapitalisme dan demokrasi di negeri ini.

Kita perlu sedikit memahami, bahwa konsep perbudakan berdiri di atas pengandaian, bahwa ada tingkatan dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia ini. Ada kelompok manusia tertentu yang dianggap lebih unggul daripada kelompok manusia lainnya. Maka kelompok yang lebih kuat punya hak untuk menindas kelompok yang lebih tak berdaya. Perbudakan tidak hanya menjadi biasa, tetapi menjadi keharusan alamiah ??!

Di dalam masyarakat kita, yang katanya perbudakan telah dihapus di atas dunia. Namun fakta sehari-hari mengatakan berbeda. Masih banyak saudara-saudara kita di pelosok tanah air yang hidup dengan pendapatan amat rendah, bahkan tak dibayar, setelah bekerja seharian untuk pihak yang berkuasa alias majikan.

Bahkan, masih banyak orang yang merasa, bahwa dirinya lebih mulia dan memiliki hak lebih banyak dari orang lainnya. Arogansi tercium di mana-mana, walaupun sesungguhnya arogansi itu tidak punya dasar yang bermakna. Yang berkuasa secara uang, politik, ataupun agama merasa berhak untuk bertindak seenaknya. Mereka menindas orang-orang yang lemah, tanpa pernah merasa bersalah !!!

Aristoteles berpendapat bahwa dalam sistem perbudakan, semua pihak mendapatkan keuntungan. Sang Tuan akan memperoleh tenaga kuat dan murah. Sementara sang budak akan memperoleh penghidupan. Tidak ada yang dirugikan, karena semua mendapatkan apa yang dibutuhkan ?!

Namun, di negeri ini, masih banyak orang yang hidup dalam situasi yang lebih parah dari perbudakan. Pendapatan yang mereka terima tidak cukup untuk hidup sehari-hari. Mereka bekerja keras dengan upah yang amat tidak manusiawi. Mungkin menurut Aristoteles kita perlu menganut sistem perbudakan, supaya orang-orang yang hidup dalam kemiskinan ini, walaupun tak dibayar, tetap dapat hidup dalam tanggungannya tuannya ?!!

Perbudakan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi jugab soal martabat manusia yang memiliki kebebasan. Walaupun secara ekonomi tampak menguntungkan, namun sistem perbudakan menyangkal status kemanusiaan tiap orang, karena mereka direndahkan semata menjadi harta benda atau 'faktor produksi' yang bisa dimiliki dan diperjual-belikan.

Menurut Setyo Wibowo, Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, yang dengan berani menyatakan, bahwa Amerika Serikat menjadi demokrasi dengan terlebih dahulu menjadikan seluruh dunia sebagai budaknya. Itulah kiranya yang terjadi sekarang ini. Dengan pengaruh kuasa dan hegemoninya, Amerika Serikat memperbudak seluruh dunia.

Secara legal, memang perbudakan telah dilarang. Namun faktanya semua itu berlangsung di depan mata kita. Jika kita tak melihatnya mungkin ada sesuatu yang telah membuat mata kita buta !!? Memang, prakteknya tidak disebut sebagai suatu perbudakan, namun secara langsung mengandung unsur-unsur perbudakan di dalamnya. Simak saja nasib para TKI, buruh tani, buruh pabrik, buruh bangunan dan buruh-buruh lainnya. Apakah mereka sungguh telah keluar dari sistem 'perbudakan' ?

Ketika kita menyangkal masih adanya perbudakan di era sekarang, maka  hal ini merupakan bentuk kemunafikan. Kita semua tahu tetapi tak berani mengungkapkannya, karena takut dipecat, takut dikucilkan, dan takut-takut lainnya. Di dalam masyarakat kita tidak jauh berbeda. Bahkan kita mungkin menjadi salah satu pelaku praktek perbudakan di tempat hidup ataupun kerja kita. Kita tahu namun menolak untuk menyatakannya. Kita terus hidup dalam penjara-penjara kemunafikan.

Pada akhirnya, mari kita buka mata hati kita seluas-luasnya, dan lihatlah dunia di sekitar kita. Apakah masih ada pola-pola perbudakan yang tersisa !? Jika ya nyatakanlah dengan tegas, dan perangilah secara beradab. Hanya dengan begitu kita bisa keluar dari penjara kemunafikan, dan kita mulai menciptakan keadilan, minimal mulai dari diri kita sendiri !?? Wallahu A'lamu Bishshawwab.

 Bekasi, 13 September 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun