Tanpa terasa air mata haru hadir menemani rasa sebuah introspeksi bawah sadar ini kali. Menurutku, ini merupakan sebuah awal untuk menyusun kembali rangkaian jati diri yang sempat terhanyut oleh ego. Menyusunnya dalam diam. Hanya aku dan Langit yang mengetahuinya. Mungkin semesta hanya bisa mengintip dari kejauhan.
Kutemukan di dalam diam; pada tiap hela napasku, ya hanya ini yang kupunya, itu pun bentuk pinjaman dariNya, Sang Empunya Kehidupan. Apabila suatu saat napasku diambil kembali olehNya, apa dayaku?
Hakikinya kehidupan mungkin telah aku temukan, tapi mungkin belum sesungguhnya berarti kebenaran. Setelah apa yang katanya aku punyai ini ternyata bukan milikku. Semakin menyadari bahkan sesungging senyumku pun nyatanya bukan milikku, lho!Â
Hakiki kehidupan itu kusebut sebagai ketergantungan antarmakhlukNya. Membiarkan mereka bertumbuh, berkembang, dan bahkan mati secara alami. Sebab, sejatinya aku itu tidak berhak atas apa pun juga. Ia hanya kesediaan untuk saling membutuhkan satu sama lain.
Membiarkan sesuatu hal yang berhubungan dengan kita atas segala kejadian sedih dan bahagia dapat melatih keikhlasan kita di dalam menapaki kehidupan ini. Mampu melihat peristiwa utuh tanpa terpenggal oleh jarak pikiran kita. Sebab tidak semua hal di dunia ini berjalan sesuai keinginan kita.Â
Berproses di atas rasa syukur, keheningan batin, dan kejujuran akan membuat semakin menyadari bahwa hak itu sesungguhnya telah dijalani. Sehingga tidak akan mempertanyakan segala sesuatu mengapa mesti terjadi, dan tidak akan menuntut lagi apa yang dinamakan hak.
Bandung pada musim banjir, Februari 2020 @21.03