Oleh: Wima Harsono
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, adalah permata keanekaragaman hayati laut dunia. Dijuluki "jantung Segitiga Terumbu Karang," wilayah ini bukan hanya surga bagi penyelam dan peneliti, melainkan juga rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna endemik.Â
Namun, di balik pesona bawah lautnya yang memukau, Raja Ampat menyimpan potensi konflik abadi.
Pertambangan nikel, yang kini kembali mencuat sebagai isu nasional karena kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungannya.
Akar Sejarah Perizinan.Â
Jejak Panjang Kontrak Karya
Kontroversi penambangan nikel di Raja Ampat bukanlah fenomena baru.Â
Akarnya tertanam jauh dalam sejarah regulasi pertambangan Indonesia. Salah satu entitas utama yang menjadi sorotan adalah PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk.Â
Jejak langkah PT Gag Nikel di Pulau Gag, Waigeo Barat, Raja Ampat, sudah dimulai sejak era Orde Baru.
Pada tahun 1998 PT Gag Nikel menandatangani Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah Indonesia.Â
Perlu dicatat, KK adalah bentuk perjanjian pertambangan yang umum pada masa itu, seringkali memberikan hak eksklusif kepada investor dengan durasi yang panjang.Â
Penandatanganan KK di tengah krisis moneter dan gejolak politik menjelang reformasi menunjukkan betapa strategisnya sektor pertambangan bagi negara, bahkan di masa sulit.
Pada awal 2000-an hingga 2010-an, proses perizinan PT Gag Nikel terus bergulir, melalui tahapan eksplorasi, studi kelayakan, hingga pengajuan Izin Usaha Pertambangan (IUP).Â
Dalam periode ini, berbagai kementerian dan lembaga terlibat, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup.Â
Isu lingkungan sudah mulai muncul, namun seringkali tenggelam oleh argumen kebutuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Saat Era Kementerian ESDM rra Jokowi.Â
Kontinuitas dan Dilema Pembangunan
Kontroversi semakin memanas ketika pada tahun 2017, di bawah kementerian ESDM era Jokowi, izin operasi produksi untuk PT Gag Nikel secara resmi diterbitkan.Â
Keputusan ini memicu protes keras dari aktivis lingkungan, masyarakat adat, dan akademisi. Mereka berargumen bahwa penambangan nikel di pulau kecil dengan ekosistem yang rentan seperti Pulau Gag akan membawa bencana ekologis yang tak terpulihkan.
Pemerintah saat itu, di bawah Presiden Joko Widodo, menghadapi dilema klasik, antara ambisi pembangunan ekonomi dan hilirisasi nikel sebagai komoditas strategis global, dengan kewajiban menjaga kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.Â
Meskipun pihak Kementerian ESDM saat itu menyatakan bahwa perusahaan diwajibkan mematuhi standar lingkungan ketat dan akan dikenakan sanksi jika melanggar, skeptisisme tetap tinggi mengingat rekam jejak pengawasan tambang di Indonesia.
Mengapa Isu Ini Kembali Viral?
Kini, bertahun-tahun setelah izin tersebut diberikan, isu penambangan nikel di Raja Ampat kembali menjadi perhatian publik.Â
Ada beberapa faktor yang mendorong viralitas ini :Â
Dampak Lingkungan yang Nyata.
Laporan-laporan dan visualisasi dari lapangan menunjukkan indikasi kerusakan lingkungan yang semakin parah, seperti sedimentasi lumpur di perairan, perubahan bentang alam, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati laut.
Gambar-gambar dan video yang beredar di media sosial menjadi bukti kuat yang sulit dibantah.
Peningkatan Kesadaran Lingkungan.Â
Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, semakin vokal dan sadar akan isu-isu lingkungan. Kampanye-kampanye global tentang perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati turut membentuk pandangan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan.
Transparansi Informasi.Â
Akses informasi yang lebih mudah melalui media sosial memungkinkan penyebaran data, laporan investigasi, dan testimoni masyarakat lokal secara cepat, membangkitkan empati dan kemarahan publik.Â
Urgensi Konservasi Raja Ampat.Â
Sebagai salah satu surga terakhir keanekaragaman hayati laut, Raja Ampat memiliki nilai konservasi global yang sangat tinggi.
Kerusakan di Raja Ampat bukan hanya kerugian bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia.
Konsekuensi Historis dan Pelajaran untuk Masa Depan.Â
Secara historis, kasus penambangan nikel di Raja Ampat adalah cerminan kompleksitas tata kelola sumber daya alam di Indonesia.Â
Ini menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial, yaitu:Â
Warisan Perizinan Lama.Â
Banyak masalah lingkungan saat ini berakar pada perizinan yang diterbitkan puluhan tahun lalu dengan standar lingkungan yang belum seketat sekarang.
Lemahnya Penegakan Hukum.
Meskipun regulasi ada, implementasi dan penegakan hukum seringkali lemah, memungkinkan pelanggaran terus terjadi.
Dilema Masyarakat Lokal.
Masyarakat adat dan lokal seringkali menjadi pihak yang paling rentan terhadap dampak negatif, meskipun mereka seharusnya menjadi penjaga lingkungan.
Kasus penambangan nikel di Raja Ampat adalah pengingat bahwa sejarah adalah guru terbaik. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya pendekatan yang holistik dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Masa depan Raja Ampat, dan juga Indonesia, akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita mampu belajar dari masa lalu, mengutamakan konservasi, dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar melayani kesejahteraan rakyat tanpa mengorbankan warisan alam yang tak ternilai harganya. (WMH)Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI