Konflik kepentingan dirumuskan sebagai pertentangan antar agenda dalam satu subjek, hal ini bisa terjadi ketika kepentingan pribadi pejabat berbenturan dengan kewajiban publiknya. Solusi mainstream mengusulkan mekanisme korektif seperti pengawasan eksternal dan audit sebagai penanggulangan masalah. Pendekatan ini mengandaikan bahwa kesadaran akan diawasi dapat mencegah penyimpangan. Namun, fokus berlebihan pada koreksi mengabaikan akar struktural masalah. Logika ini terlalu mensimplifikasi dalam menangani kompleksitas birokrasi modern.
Organisasi publik sering menunjukkan resistensi sistemik terhadap upaya koreksi. Mekanisme pengawasan dimanipulasi untuk memberi ilusi akuntabilitas. Budaya birokrasi cenderung menutupi kesalahan demi menjaga citra institusi. Loyalitas internal biasanya mengalahkan transparansi yang diharapkan pengawas. Fakta ini membuktikan rendahnya efektifitas solusi berbasis mekanisme korektif.
Resistensi terhadap koreksi bukanlah kelalaian, melainkan desain struktural yang disengaja. Sistem birokrasi dibangun dengan celah prosedural yang mempersulit verifikasi independen. Hierarki kewenangan sengaja dikaburkan untuk menghambat pelacakan tanggung jawab. Fitur ini memungkinkan korupsi tersistem berjalan tanpa deteksi dan pencegahan. Organisasi demikian secara pasif-aktif menolak intervensi korektif.
Esensi masalah terletak pada paradoks tujuan organisasi. Institusi publik seharusnya melayani, namun struktur kekuasaannya justru menciptakan ketimpangan. Kewenangan monopolistik memposisikan masyarakat sebagai pihak yang tak berdaya. Ketidakseimbangan inilah yang membuka ruang eksploitasi sumber daya anggaran publik. Dengan kata lain, organisasi dirancang untuk mempertahankan dominasi, alih-alih mendistribusikan keadilan.
Ketimpangan kekuasaan antara birokrat dan penerima layanan adalah fondasi konflik kepentingan. Pejabat mengontrol akses terhadap hak masyarakat tanpa mekanisme penyeimbang yang memadai. Asimetri informasi dan wewenang memfasilitasi penyalahgunaan jabatan secara sistematis. Struktur ini secara inheren mendorong pejabat untuk memprioritaskan kepentingan pribadi. Solusi teknis seperti pengawasan nyatanya gagal menyentuh ketimpangan struktural ini.
Sistem yang korup menciptakan tekanan institusional pada setiap pejabat. Tuntutan untuk mengikuti "aturan tak tertulis" lebih kuat dibanding kepatuhan formal. Pejabat yang menolak berpartisipasi dalam penyimpangan menghadapi isolasi atau sanksi informal. Lingkungan kerja seperti ini menormalisasi pelanggaran etika sehari-hari. Akibatnya, integritas individu dikorbankan demi kelangsungan sistem korup.
Tekanan sistemik dari struktur secara langsung melahirkan konflik kepentingan konkret. Pejabat terjepit antara tuntutan integritas dan tuntutan bertahan dalam sistem. Terkadang pilihan rasional dalam lingkungan korup adalah mengikuti arus untuk melindungi diri. Konflik bukan lagi soal moral individu, melainkan strategi adaptasi dalam sistem busuk. Mekanisme korektif gagal karena tidak mengurangi tekanan struktural ini.
Konflik kepentingan pada hakikatnya adalah gejala dari patologi budaya organisasi. Praktik korupsi yang terinstitusionalisasi menciptakan ekosistem yang mengintervensi keputusan individu. Solusi sesungguhnya terletak pada rekonstruksi budaya organisasi yang demokratis dan partisipatif. Tanpa pembongkaran struktur kekuasaan yang timpang, upaya korektif hanya akan menjadi ritual kosong. Karena itu, memerangi konflik kepentingan berarti memerangi desain organisasi yang opresif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI