Di dunia yang semakin terkoneksi, realitas global bukan lagi latar belakang jauh yang samar, melainkan medan nyata yang memengaruhi denyut nadi bisnis nasional, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Disrupsi rantai pasok, tensi geopolitik, fluktuasi harga energi, serta revolusi digital menuntut respons cepat, tepat, dan strategis. Dalam konteks ini, BUMN tak cukup hanya menjadi entitas efisien atau penyedia layanan publik. Mereka harus berevolusi menjadi aktor global yang tangguh dan adaptif.
Satu kompetensi kunci untuk menghadapi tantangan tersebut adalah Global Business Savvy: kemampuan mengembangkan usaha, meningkatkan daya saing, dan menciptakan nilai tambah dengan mempertimbangkan tren dan dinamika bisnis global. Ini bukan sekadar jargon modernisasi, melainkan tuntutan zaman.
Dari Tren Menjadi Strategi
Global Business Savvy bukan hanya ikut tren internasional, tetapi keahlian strategis membaca sinyal perubahan global, menerjemahkannya ke dalam strategi lokal yang relevan, dan menciptakan nilai tambah lintas batas. Meski beberapa BUMN telah membangun jejaring internasional, mayoritas masih beroperasi dengan pola pikir domestik, bergantung pada pasar dalam negeri dan belum responsif terhadap perubahan global. Kementerian Keuangan menjelaskaan: mayoritas BUMN fokus pada pasar dalam negeri dengan eksposur internasional terbatas dan kontribusi pendapatan luar negeri yang belum signifikan” (Media Keuangan, 2023).
Faisol Riza menegaskan, “BUMN kita belum memiliki peta jalan yang kuat untuk menjadi pemain global,” dan inovasi internasional “masih banyak berasal dari inisiatif pemerintah, bukan dorongan kompetensi bisnis global internal” (The Iconomics, 2024). Hal ini menunjukkan perlunya transformasi mindset agar ketahanan bisnis BUMN tak hanya bertumpu pada kekuatan lokal, tapi juga kemampuan beradaptasi lintas batas. Ketika terjadi guncangan global seperti krisis energi, kebijakan moneter negara besar, atau disrupsi teknologi, mereka kerap gagap merespons.
Belajar dari Krisis Global
Pandemi COVID-19 mengingatkan kita bahwa dunia bisnis tak bisa lagi berpikir secara lokal. Gangguan pasokan di satu negara dapat melumpuhkan produksi di negara lain. Banyak BUMN terpukul: rantai logistik tersendat, permintaan turun, dan kapasitas produksi terganggu. Namun, perusahaan dengan orientasi internasional justru menunjukkan ketangguhan lebih besar. Mereka yang sejak awal membangun jejaring lintas negara dan strategi ekspansi global terbukti lebih adaptif menghadapi tekanan. Bukan hanya bertahan, tetapi juga tumbuh.
Beberapa BUMN mencatat kinerja ekspor signifikan dan memperluas cakupan operasional hingga wilayah nontradisional, memanfaatkan momentum krisis sebagai peluang mengukuhkan daya saing internasional. Kepercayaan global terhadap produk dan layanan nasional meningkat karena keberanian melangkah keluar dari pasar domestik. Pola ini menegaskan pentingnya global business savvy, kemampuan membaca dan mengantisipasi dinamika global serta menerjemahkannya ke strategi nyata. Bank Dunia (2024) menyatakan: tantangan BUMN ke depan adalah membangun ketahanan jangka panjang melalui ekspansi pasar dan inovasi global.
Global Mindset sebagai DNA
Tantangan berikutnya adalah menjadikan globalisasi bukan sekadar strategi sesaat, tetapi DNA organisasi. Global mindset tak cukup hanya dimiliki direktur utama atau komisaris, tetapi mengalir hingga lini operasional. Pemahaman lintas budaya, sensitivitas geopolitik, dan kesadaran tren global harus menjadi bagian cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan.
Transformasi pengembangan SDM menjadi kunci. Program pelatihan dan kepemimpinan harus memasukkan perspektif global secara sistematis. SDM BUMN perlu dibekali kemampuan menganalisis kompetitor lintas negara dan memahami perilaku konsumen global. Pemetaan risiko global juga harus terintegrasi dalam setiap rencana strategis. Krisis iklim, ketegangan dagang, evolusi teknologi, dan perubahan preferensi generasi muda adalah faktor yang tak bisa diabaikan. BUMN tanpa radar global berisiko kehilangan relevansi bahkan tersisih.