Mohon tunggu...
Irma Irawati
Irma Irawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang Ibu yang menyediakan waktu sepenuhnya untuk anak-anak, sambil sesekali menulis. Sangat tertarik pada dunia anak-anak dan hal-hal berbau tradisional

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar dari Ember Bocor

7 Desember 2012   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:02 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu telah merambat malam. jam di dash board hampir menujukkan pukul 20. langit Bandung masih dihiasi gerimis. menemani hatiku yang juga gerimis. Ya, gerimis karena melihat kemajuan matematika sulungku yang jalan ditempat.
Mulanya, seperti biasa...saat perjalanan pulang dari KuMon, tempat sulungku les matematika dan bahasa inggris, aku cek kemajuannya mengerjakan soal-soal. Allahu Akbar...ternyata, dia seperti jalan di tempat. Sudah hampir tiga bulan, dia masih berkutat di level B halaman 51. Padahal teman-teman setingkat kelasnya, ada yang sudah di C bahkan di D. Jadi mikir, kok sulungku lemot banget?...dari pikiran itulah timbul rasa sedih, kecewa dan sakit hati dengan si sulung. hingga kunasehati dia panjang lebar sepanjang perjalanan. Sulungku yang penurut, hanya mengagguk, iya, mengangguk dan akhirnya mohon maaf. Melihat sikapnya,redalah sedihku, sirnalah kecewa , hingga akhirnya kuajak ia makan malam di tempat favoritnya.
Sambil makan, pelan-pelan kugali isi hatinya. Kuselami jiwanya. Ternyata,saat ditanya pelajaran apa yang dia suka, dia menjwab bahasa inggris dan bahasa arab. Cita-citanya?...dia bilang ingin jadi hafidz.

Begitu masuk mobil, lagi-lagi hatiku dibuat meleleh oleh sikapnya. Sendu, dia bilang  "makasih ya mi, makan malamnya".

Betapa sekarang dia sudah bisa mengatur emosinya. Dia tidak cengeng padahal dari tadi sudah terus-terusan diomelin dan dinashihati.
Tersadarlah aku, ibunya. Bahwa aku tidak boleh ambisius dengan masa depan anakku. Kenapa aku seolah beranggapan bahwa matematika adalah symbol kecerdasan seorang anak?...Hingga demi belajar matematika dan bahasa inggris, aku rela merogoh kocek yang bagiku lumayan besar, karena harus bayar tiga sekaligus. Untuk bahasa inggris dan matematika si sulung, dan matematika si kecil. Aku juga rela menempuh perjalanan Garut Bandung 2 kali seminggu demi mengantar mereka, bahkan sampai larut malam. Maka, kurasa wajar jika aku kecewa dengan kemajuan si sulung yang matematikanya serasa jalan di tempat.

Untunglah, kecewaku tidak naik ke ubun-ubun hingga menjadi luapan amarah. Untunglah, aku telah belajar untuk melapangkan hatiku. Hingga aku merasa, otakku jernih untuk menganalisa. Aku pun sadar dengan kondisi anakku yang berdasa hasil pinger print, otak kanannya lebih dominan dibanding kiri. Bayangkan, sampai selisih 7 %.  Hasil lainnya, dia juga cenderung suka dengan bahasa, komunikasi dan seni. Maka, kubujuk hatiku untuk tidak memaksanya unggul di matematika. Itu baru satu point yang membuat kecawaku tersadarkan. Lainnya, kucoba menerima sulungku apa adanya. Biarlah dia tidak jago di matematika, bukankah bahasa inggrisnya lumayan dan sudah setara tingkatan kelasnya. Bukankah hafalan zuz 30 juga hampir selesai?...point kedua yang membuat hatiku mulai pulih. Dan bukankah kecerdasan emosinya juga bisa dipertimbangkan?...point ketiga yang membuatku tak lagi sakit hati.

Tapi ternyata, tiga point itu bukanlah apa-apa dibanding kesadaran yang membuatku seolah terbangun dari tidur . Membuatku serasa dijewer olehNya. Apakah itu??...Aku baru saja membaca KuMon Class Diary yang menurutku seprti bulletin ringan. Tulisan kali ini, benar-benar telah menohok hatiku. Yakni tentang ember bocor. Beginilah kisahnya....


Seorang pemikul air, memikul dua ember setiap harinya. Digantungkan pada pikulan yang disimpan melintang di bahunya. Hingga ember itu bersebrangan. Sayangnya, satu ember bocor. Hingga selama dua tahun memikul air, setiap harinya hanya sampai dengan air seember setengah. Ember bocor merasa bersalah karena air di dalamnya banyak terbuang. Tapi apa kata si tukang pikul. "justru dengan air yang tumpah itu, kamu telah menyirami bunga-bunga yang kamu lewati. Hingga berbunga indah. Dan bisa kupetik untuk majikanku. Tanpa air darimu..rumah majikanku tak kan indah dengan hisan bunga".
Ember bocor itu, seolah ingin mengatakan 'no body perfect'. Jadi kenapa aku yang sebagai ibu menuntut sulungku harus sempurna?...padahal, kita semua adalah ember bocor. Jika mau, kita bisa gunakan kekurangan itu untuk hal yang bermanfaat dan positif. Karena dimataNya yang Maha bijaksana, tidak ada yang sempurna, tak ada kekurangan yang terbuang percuma. Itulah anakku...yang membuat Ummi semakin sadar, bahwa kamu yang harus Ummi arahkan adalah kamu yang apa adanya. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenali kelemahanmu. Yakinlah, dalam kelemahanmu akan ditemukan kekuatanmu.
Ummi  sebagai ibu, masih harus belajar mencerna ungkapan Kahlil Gibran, sastrawan Libanon. Katanya:

"anakmu adalah anak panah kehidupan. Dan engkau hai orang tua, adalah busurnya. Engkau hanya mampu mengarahkan dengan sepenuh kekuatanmu agar anak panah melaju ke sasaran yang engkau kehendaki. Setelah anak panah dilepaskan dari busurnya, engkau tak lagi memiliki kendali atas anakmu".
Maka saat ini, ummi hanya bisa membimbing dan mengarahkanmu. Juga memfasilitasimu untuk terus belajar dan belajar. Ummi tak lagi ambisi dengan hasilmu...tapi usahamu sungguh telah membuatku tegar untuk terus mengarahkanmu. Kutahu, meski kau jalan di tempat, tapi kau sedang berusaha melangkah. Tanpa bicara, kau telah menunjukkannya, sayang.
Esoknya, saat kudatang ke pesantren untuk berpamitan denganmu,kucari engkau di antara riuhnya anak-anak yang sedang main bola bersama hujan, ternyata kutemui engkau sedang konsentrasi dengan PR matematika mu di sudut ruangan. Sendiri. Terimakasih atas usahamu, sayang. Juga kesungguhanmu.

Semoga yang Maha teliti dan Maha lembut...menerangi hati dan pikiranmu

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun