Mohon tunggu...
W. Bintang
W. Bintang Mohon Tunggu... Freelancer - Variety Writer

Penulis lepas, memberikan perspektif atas apa yang sedang ramai dibicarakan.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Penggagas Liga Super Eropa adalah Orang yang Membenci Sepak Bola

19 April 2021   18:58 Diperbarui: 19 April 2021   19:24 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liga Super Eropa menjadi senjakala dari sepak bola yang kita kenal, benarkah? (PublicDomainArchive/Pixabay)

Mungkin setelah semua keributan selesai, setelah ide European Super League (Liga Super Eropa) telah mengkristal sebagai kenyataan atau berubah lagi bentuknya, dunia sepak bola akan menemukan waktu untuk melakukan refleksi.

Bagaimana kita mencapai titik dimana Liga Super Eropa akhirnya diwujudkan?

Bagaimana klub-klub besar berhasil merekayasa suatu kompetisi yang hanya menjadi tempat bermain mereka sendiri terwujud sebagai suatu kenyataan tak terelakkan, bahkan disambut?

Bagaimana olahraga paling populer di dunia berhasil menyerahkan begitu banyak kekuasaan, kekayaan, dan pengaruhnya kepada orang-orang yang membencinya?

Karena jangan salah: Liga Super Eropa adalah ide yang hanya bisa dibuat oleh seseorang yang benar-benar membenci sepakbola.

Mereka sangat membenci sepak bola sehingga mereka ingin memangkasnya, merebut paksa, dan memisahkannya dari akar rumput.

Nyata sudah yang menganggap gagasan olahraga kompetitif menyinggung perasaan mereka dan menjadi gangguan yang tidak sehat dari kegiatan menghasilkan uang, tujuan utama kapitalisme.

Kapital tidak pernah hanya puas menjadi perwakilan di tempat dimana keputusan dibuat, tetapi akan selalu menuntut kekuasaan untuk membuat aturannya sendiri.

Ini, sebagian besar, yang tampaknya terjadi pada gagasan Liga Super Eropa.

Baca juga: "Liga Super Eropa: Wacana 12 Klub Besar Mengganti Liga Champions"

Pada Minggu, 12 klub penggagas mengumumkan pemisahan diri mereka dari struktur kompetisi Eropa dan menciptakan ekosistem bernama Liga Super Eropa: tiga dari Italia, tiga dari Spanyol dan enam dari Inggris.

Ada ironi didalamnya: pengumuman datang tepat ketika Arsenal (bagian dari Liga Super) bersusah payah meraih hasil imbang 1-1 di kandang melawan Fulham (klub non-elit), ketika Juventus dikalahkan (dan dilangkahi di klasemen sementara Serie A) oleh Atalanta yang kecil atau bagaimana Real Madrid hanya meraih hasil melawan Getafe, sebuah klub dari suatu kecamatan di kota Madrid.

Gagasan dari Liga Super Eropa jelas merupakan ekspresi penolakan akan ide dasar mengapa kompetisi olahraga diciptakan:

Wadah sehat akan pertarungan antar bangsa dan budaya ataupun kota dan provinsi dengan ekosistem yang disusun sedemikian rupa dari atas hingga bawah dimana Anda bisa terlibat langsung ataupun Anda duduk serta membayar untuk menikmatinya.

Mungkin ide akan kompetisi yang memberikan kesempatan adil untuk semua pihak terlibat memang telah ketinggalan jaman.

Tetapi dalam menyatakan niat mereka untuk mendirikan kompetisi tertutup - atau kompetisi yang memberikan sedikit kesempatan klub luar terlibat - klub-klub yang mendaku diri sebagai terbesar telah meletakkan visi mereka untuk masa depan sepak bola.

Ya, sepak bola menjadi sebuah reality show sepanjang 12 bulan yang bertujuan menghasilkan aliran konten, animus, dan poin pembicaraan yang tak henti-hentinya atas klub itu - itu saja.

Yang luput dari pembicaraan banyak kritikus adalah salah satu kelemahan utama Liga Super Eropa.

Bagaimana jika klub yang dijual besar dan mapan diadu satu dan lainnya terus menerus hingga mencapai titik jenuh dan Liga Super Eropa menjadi sesuatu yang biasa, tidak lagi spesial, dan tidak lagi penting?

Merindukan Liverpool vs Real Madrid?

Tidak masalah, mereka akan bermain lagi besok malam, dan kemudian tiga malam setelah itu.

Sepak bola menjadi layanan streaming-on-demand, sepak bola sebagai barang konsumen yang tidak dapat dipertukarkan, sepak bola dirancang cocok dengan dengan kehidupan Anda yang bergerak cepat dan melenyapkan makna akan suatu peristiwa.

Ini kebenaran yang tidak menyenangkan: Liga Super Eropa sebenarnya diinginkan banyak orang.

Mungkin bukan saya atau mereka para suporter asli yang tinggal di dekat stadion klub dan menjadi pemegang tiket musiman yang kuat hingga ultras di Curva Sud.

Tetapi, yang pasti, jutaan orang di seluruh dunia tanpa keterikatan sejarah sepak bola menyukai gagasan ini, dan mereka akan menjadi pasar yang dituju oleh mereka para penggagas Liga Super Eropa yang peduli setan dengan tradisi dan struktur kompetisi sepak bola.

Namun, bahkan pada momen akhir yang dramatis ini, sangat sedikit yang berpikir bahwa gagasan dasar Liga Super Eropa adalah tentang keserakahan.

Akankah FIFA mempertahankan posisinya melawan liga yang memisahkan diri, bahkan jika Piala Dunia yang disayanginya dalam proses direduksi menjadi sekedar ajang Olimpiade dimana pemain amatir bertanding?

Akankah pemain setuju untuk mengakhiri karir internasional mereka secara paksa, dan jika tidak dapatkah mereka secara kontrak dipaksa untuk melakukannya?

Apakah kompetisi baru akan tersedia untuk penonton televisi massal, dan jika tidak bagaimana reaksi sponsor?

Dan mengapa Tottenham Hotspurs melibatkan diri dalam kompetisi yang dimana mereka akan menjadi bulan -- bulanan dan tidak bertahan saja pada kompetisi lama yang membuka kesempatan mereka berjaya?

Tidak diragukan lagi, hari-hari mendatang akan membawa kejelasan, serta lebih banyak kebingungan.

Perlawanan akan datang dalam berbagai bentuk: protes, boikot, pesan media sosial yang keras, teguran yang tak terelakkan dari negara -- negara berkepentingan yang cuma angin lalu bagi penggagas Liga Super Eropa.

Fakta terpampang jelas bahwa klub pendiri punya kepentingan untuk mendirikan Liga Super Eropa hari ini.

Di Spanyol, Barcelona berhutang 1 miliar (Rp 20 triliun dengan kurs 1 = Rp 20.000) dan menghadapi salah satu krisis keuangan terbesar dalam sejarah mereka dengan Real Madrid tidak mampu membeli satu pun rekrutan besar musim panas lalu.

Di Italia, Juventus harus bisa mengisi kas klub dengan uang 100 juta (Rp 2 triliun) pada akhir Juni nanti selagi pemilik Inter Milan sudah sampai di titik mencari dana talangan operasional pada bulan Februari.

Jelas mereka adalah klub besar dalam olahraga paling menguntungkan di dunia: tempat dimana orang -- orang pintar dan berpikiran paling tajam berkumpul.

Apakah kita bisa memercayai kepintaran tersebut untuk mengatur sebuah liga yang memisahkan diri dari struktur kompetisi yang kita kenal, padahal mereka sendiri kesulitan menjaga atap berdiri di atas kepala mereka?

Mungkin, untuk semua sakit hati dan pergolakan kedepannya, inilah kesimpulan logis: klub penggagas telah mengancam untuk menciptakan kompetisi sendiri selama bertahun-tahun dan sekarang mereka mendapatkannya dengan saya hanya bisa bersumpah serapah.

Untuk Liga Super Eropa dan teman-temannya: semoga berhasil.

Baca juga: "European Super League: Kita Dukung atau Boikot?" oleh Steven Chaniago

Sebuah translasi kasar dari artikel Jonathan Liew, "Only someone who truly hates football can be behind a European super league".
Anda bisa membaca tulisan aslinya di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun