Mohon tunggu...
W. Bintang
W. Bintang Mohon Tunggu... Freelancer - Variety Writer

Penulis lepas, memberikan perspektif atas apa yang sedang ramai dibicarakan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kejayaan Manchester City dan Tragedi Sepak Bola Modern

17 Maret 2021   08:53 Diperbarui: 19 Maret 2021   12:07 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dominasi Manchester City sulit terbendung di musim ini. Resep kesuksesannya mengekspos komponen sepakbola modern (jorono/Pixabay)

Strategi dengan membuat garis pertahanan yang sedikit lebih dalam bisa jadi merupakan solusi untuk menyelesaikan masalah yang terus meredam ambisi Eropa dalam beberapa musim terakhir.

City dan klub yang dilatih Pep cenderung takluk oleh bola yang dimainkan di belakang garis pertahanannya, ditambah upaya berbelit untuk membalas gol lawan. Selama satu dekade, tim yang dilatih Guardiola --- Barcelona, Bayern dan Man City --- terus kalah dengan cara yang mengejutkan di Liga Champions.

Pendekatan yang sedikit konservatif City musim ini membuat mereka menjadi tim yang lebih siap untuk menghentikan catatan buruk tersebut, walau mereka harus tetap waspada bahwa lawan -- lawan selanjutnya akan mempelajari bagaimana Manchester United mengalahkan City dan menjadi noda diantara 25 kemenangan terakhir mereka.

Satu hal lagi yang sering terlupa adalah konsistensi City untuk terus menang terjadi selagi mereka banyak melakukan rotasi. Melawan Gladbach, tidak ada nama Raheem Sterling, Gabriel Jesus, Sergio Aguero, Fernandinho, Aymeric Laporte atau Benjamin Mendy di lineup awal -- hal yang bisa terjadi karena City punya skuad yang luar biasa.

City adalah klub yang dikelola dengan brilian. Fasilitasnya kelas satu. Klub tersebut memiliki struktur yang koheren dan holistik.

Strategi transfernya memang belum sempurna --- tidak ada klub yang sempurna --- tetapi mereka lebih baik daripada kebanyakan klub lainnya, terutama dalam membeli bek tengah atau bek kiri. Kemampuan finansialnya yang kemudian menjadi sumber kontroversi.

City membeli Nathan Ake seharga 40,7 juta Pounds (Rp 778 miliar dalam kurs 1 Pounds = Rp19.111) musim panas lalu. Dia baru memulai lima pertandingan liga dan kemudian absen akibat serangkaian cedera hamstring. Bagi kebanyakan klub, kehilangan pemain yang menghabiskan begitu banyak uang akan menjadi masalah besar.

Akan tetapi City juga memiliki pemain lain yang dengan mudah menggantikan Ake. Ada nama Ruben Dias (62,9 juta Pounds - Rp1,2 triliun), serta Laporte yang menelan biaya 59 juta Pounds (Rp1,1 triliun) pada tahun 2018, dan John Stones yang dibeli dengan biaya 51,8 juta Pounds (Rp990 miliar) pada tahun 2016.

Sejak Sheikh Mansour mengambil alih klub pada tahun 2008, pengeluaran City untuk transfer pemain saja mencapai 1,22 miliar Pounds (Rp23,3 triliun). Sebagian besar klub tidak bisa bersaing dengan kekuatan finansial sebesar itu.

City berupaya mengakali aturan Financial Fair Play dan telah didakwa tahun lalu (harus diingat bahwa meskipun hukuman Man City atas pelanggaran tersebut dibatalkan; hukuman tersebut dibatalkan akibat masalah teknis dalam waktu dakwaan).

Tentu City tidak sendirian berstatus klub kaya, yang membuat City berbeda adalah bahwa ia, seperti Paris Saint-Germain, secara efektif dijalankan oleh negara --- dan bukan hanya negara, tetapi negara yang sengaja menggunakan sepak bola untuk memoles reputasi yang tercemar oleh pertanyaan atas hak asasi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun