Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ancaman Terhadap Kampus "Freedom of Speech" di Negara Pancasila adalah Kejahatan Konstitusi

3 Juni 2020   13:58 Diperbarui: 3 Juni 2020   13:58 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Willem Wandik S.Sos

Ancaman pembunuhan terhadap "civitas academica" yang hendak menyelenggarakan diskusi ilmiah tentang tema "Ketatanegaraan" terkait "diskursus Presidential" di republik Pancasila, merupakan "Kejahatan Konstitusi".. 

Di momentum hari lahirnya Pancasila 01 Juni 2020, sebagai anggota Parlemen RI, dari wilayah timur nusantara, Tanah Papua, kami hendak mengingatkan kepada Otoritas nasional di pusat kekuasaan di Jakarta, bahwa "perilaku kekuasaan" yang tidak bisa melindungi "the citizien rights" tentang kemerdekaan untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran "termasuk dalam perkumpulan akademisi/universitas", merupakan penghianatan tehadap "demokrasi yang di perjuangkan oleh seluruh elemen rakyat, termasuk dalam momentum bersejarah reformasi yang telah berlangsung sejak 21 tahun silam..

Masa depan bangsa dan negara, bukan "the only" untuk kita yang hidup di hari ini saja, melainkan untuk "the young generation in the future".. Masa depan demokrasi di negeri Pancasila yang dapat kita bangun saat ini (demokrasi yang diperkuat, bukan dilemahkan), akan menentukan masa depan demokrasi bagi generasi muda Indonesia di masa mendatang.. 

Sebagai representasi dari warga kulit hitam dan berambut keriting, terlebih lagi yang berasal dari "suku pegunungan pedalaman", kami merasakan hikmat yang besar dari perjuangan reformasi yang dicapai sejak 1998 silam.. 

Dimana, sebagai warga kulit hitam, ras melanesia, yang sering "di cap" sebagai OPM oleh kelompok yang merasa paling "nasionalis" dan paling "merah putih".. Kami merasakan kesempatan yang terbuka lebar untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, dimasa reformasi sampai hari ini (sekalipun masalah human rights di Tanah Papua masih belum tuntas hingga hari ini).. 

Setiap pemimpin nasional, harus menyadari betapa "sulitnya" untuk menyatukan bangsa yang besar dan beragam ini, termasuk menjaga nilai nilai demokrasi, secara khusus melindungi kebebebasan akademisi untuk "create think", menciptakan pikiran, agar rakyat dan pemimpin tidak kehilangan "konsepsi"dan visi tentang tujuan hidup bersama sebagai bangsa.. 

Aktivitas "create think"di kampus-kampus bukanlah musuh bagi demokrasi dan konstitusi negara 45, melainkan "be enemy" musuh  bagi tiranisme kekuasaan dan pemerintahan yang "corrupt".. 

Setiap "individu penguasa" hanyalah manusia biasa, individu rakyat seperti kebanyakan orang, ketika kekuasaan itu di ambil kembali oleh konstitusi negara "berhenti dari masa jabatan"..  

Setiap penguasa akan kembali menjadi rakyat biasa, dan apa yang akan terjadi jika "elemen dasar" demokrasi hancur, ketika tuan-tuan penguasa kembali ke pangkuan rakyat, dan merasakan kemerdekaan sebagai warga negara "baca:rakyat biasa", justru tidak lagi menjadi "hak asasi" yang wajib dilindungi oleh kekuasaan??.. 

Sehingga tidak ada seorang pun, termasuk penguasa yang boleh "paling merasa" sebagai "being democracy", "most democracy among others", bahkan "we are the true democracy, another not".. 

Bagaimana peristiwa kematian Mr. George Floyd (Black Man Afro American Citizen) yang tewas secara "tragis" di tangan seorang Officer Polisi "yang merasa paling benar", "merasa sebagai representasi hukum paling absolute", sehingga tanpa merasa bersalah, melakukan tindakan yang mereka sebut "law enforcement, to maintain the order" yang pada gilirannya, justru di implementasikan secara berlebihan "abuse of power", yang mengakibatkan kematian yang tragis.. 

Kekuasaan itu hanyalah berkedudukan sebagai "alat negara", sedangkan demokrasi merupakan "way of life/jalan hidup bernegara".. Bagaimana bisa, "alat negara" dapat merampok "jalan hidup bernegara" yang di pedomani oleh 270 juta jiwa penduduk Indonesia??... 

Demokratis itu tidak hanya cukup diucapkan dengan kata-kata ", tetapi harus dirawat dengan komitmen bernegara.. 

Dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, seharusnya digunakan untuk "promoting" dan "reinforce" perilaku yang memperkuat elemen demokrasi (freedom of speech), termasuk wajib menunjukkan sikap empati dan dukungan yang nyata, ketika ditemukan sekelompok orang yang secara terang-terangan, mengancam kemerdekaan "Civitas Academica" untuk mempertajam penalaran ilmiah melalui diskusi akademis, maka negara harus hadir memberikan perlindungan dan penguatan.. 

Where are you Mr. Democracy..

Where are you Mr. Freedom of Speech..

Where are you Mr. Reformasi..

Where Are You Mr. Politician..

Where Are You Mr. Activist.. 

Wa Wa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun