Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Spotlight'' - untuk Direnungkan

8 Desember 2017   01:39 Diperbarui: 8 Desember 2017   01:54 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari sebuah rubrik investegasi dari harian Boston Globe, tim Spotlight berhasil membongkar sebuah "rahasia umum" yang tak tahu diungkapkan seperti oleh para korbannya. Bukan sekedar kritik atau bahkan pemojokan untuk Gereja. Dibalik perasaan hancur kita, film ini mengajak kita untuk bermenung lebih dalam...

Oleh: Fr Williams Flavian Pita Roja, MSC

Berbagai emosi akan muncul dari para penonton film Spotlight, bukan karena adegan menjijikan atau mungkin kotor, bukan. Adegan emosional dari para wartawan yang membongkar kasus besar inilah yang akan membuat penonton film ini seakan tak mau berkedip. Film dengan durasi 120 menit ini akan menyuguhkan para penontonnya adegan  perjuangan para wartawan harian Boston Globeyang awalnya menolak untuk menerima tantangan dari pemimpin baru mereka Marty Baron (Liev Sechreiber) yang baru menjabat setelah dari Miami. 

Mereka kemudian menerimanya, meski dengan motivasi awal untuk mengangkat kembali  popularitas harian tersebut  yang pada saat yang hampir berdekatan banyak memecat karyawannya berhubung  pada tahun 2001 ekonomi dunia memang sedang melorot. Namun motivasi ini berubah setelah mereka yang sebagian besar beragama Katolik tersebut sadar, ini adalah sebuah skandal Gereka Katolik di Boston, yang bagi mereka sangat keterlaluan dan harus diungkapkan demi menyembuhkan para korban dan menyadarkan Gereja di Boston bahkan Gereja sedunia untuk berbenah, meski efek dari berhasilnya investigasi ini hampir menghancurkan Gereja Katolik di Amerika pun Eropa. 

Kenyataan yang dilukiskan dalam film ini sungguh memperlihatkan bagaimana kasus Pelecehan Sexual oleh para Imam tersebut hanya ditutup rapat-rapat oleh Gereja setempat, dan oleh para korban pun kasus ini dirasa sebagai aib yang tidak boleh diungkapkan di muka umum, karena untuk penduduk Boston pada masa itu, mustahil untuk bisa menggugat Gereja yang pada saat itu "menguasai"  kota tersebut. Ketakutan oleh para korban ini akhirnya membuat para Pastor yang menjadi pelakupun seperti tak jera, meski otoritas Keuskupan Boston sudah membawa para pelaku untuk di relokasi. Namun ini tidak cukup bagi para wartawan investigasi tersebut.

            "kita harus berbuat sesuatu", ujar Mike Rezendes (Mark Bufalo) salah satu wartawan investagsi tersebut.

Meski seorang Yahudi, Baron, sang pemimpin redaksi melihat kasus ini sebagai langkah penting untuk menampakan sebuah kenyataan yang tak pernah di singkap yang juga  dilihat dari segi bisnis, kasus akan memberi keuntungan bagi harian tersebut, dan memang terjadi demikian, karena kasus ini harian tersebut mendapatkan kembali popularitasnya. 

Masalah yang rumit untuk diungkapkan ini bahkan sempat membuat tim spotlight kewalahan dan ingin berhenti, tapi Baron yang jenius tahu bagaimana memanasi mereka. "Kita akan menghajar system. Sebab, setiap kali ada kasus, pastor itu hanya direlokasi, tidak dihukum, apalagi dituntut pidana". Baron tidak sedang bergurau, Tom Mccarthy, sutradara film ini memperlihatkan bagaimana pengadilan selalu berusaha menjaga nama baik Keuskupan, pengacara kondang di kota itupun sering hanya bisa menghibur pelaku yang mereka bela, susah untuk memenangkan gugatan mereka. 

Kalau menang pun, media-media di kota itu tak begitu bergairah mengeksposnya karena hanya satu atau dua korban saja. Tom mengatur adegan ini menjadi semakin menarik dengan melibatkan bukti-bukti tentang bagaimana system yang dimaksudkan Baron tadi bekerja, dan kemudian memperlihatkan bagaimana cara tim Spoliht menghajar system tersebut. 

Keberhasilan tim Spotlight memang membuka mata penduduk Boston, terlebih khusus para korban yang awalnya malu namun kemudian berani menelpon tim tersebut untuk menceritakan pengalaman pahitnya dan kemudian digugat di Pengadilan. Kejadian yang tejadi di pagi hari tersebut akhirnya membuat dunia tercengang, dan mereka berhasil membuat Negara-negara lain ikut membongkar skandal serupa baik Amerika ataupun Eropa.

Ini penghinaan terhadap Gereja, demikian reaksi pertama yang akan muncul. Namun bukan itu tujuannya. Film ini secara jelas mengajak kita melihat kenyataan pelik ini sebagai pelajaran berharga untuk berbenah. Gereja milik Tuhan, dan manusia sekalipun tak akan pernah mampu menghancurkan apa yang menjadi milikNya. Kita hanya perlu berbenah. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa keberhasilan para wartawan tersebut juga karena berkat dari Tuhan. Jika para penonton film ini jeli, maka akan terlihat bagaimana bukti-bukti yang digunakan secara jelas memperlihatkan nama imam-imam yang berasal dari sebuah tarekat religius yang  tak perlu disebutkan dalam artikel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun