Oleh: Wildan Athala Rifqi
*Mahasiswa Universitas Airlangga, Kedokteran Hewan (FIKKIA).
Setiap tahun umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan cara yang beragam. Dari Grebeg Mulud di Yogyakarta, Baayun Maulid di Kalimantan, Maudu Lompoa di Sulawesi Selatan, hingga Malamang di Minangkabau---semuanya menunjukkan bahwa Islam di Nusantara tidak hadir untuk menggusur budaya, melainkan merangkulnya, mengislamisasinya, lalu memberi makna baru.
Namun, dalam perkembangan zaman, Maulid tidak selalu dipahami sebagai perayaan spiritual. Sebagian masyarakat menjadikannya ajang kenduri besar, bahkan ajang gengsi. Di Aceh, misalnya, perayaan Maulid bisa berlangsung berbulan-bulan, dengan konsumsi besar-besaran hingga harga bahan pokok naik. Sayangnya, makna teologis---cinta dan teladan kepada Rasulullah---sering terpinggirkan oleh semangat konsumtif.
Di sinilah letak pergulatan makna. Apakah Maulid hanya ritual budaya dan pesta sosial, atau ia tetap menjadi medium spiritual untuk mendekatkan umat pada Nabi dan Tuhan?
- Nabi dan Eudemonisme: Bahagia yang Sejati
Dalam filsafat Yunani klasik, dikenal istilah eudemonisme---paham yang menempatkan kebahagiaan sebagai tujuan utama hidup manusia. Aristoteles menyebut eudaimonia bukan sekadar kesenangan sesaat, melainkan hidup yang bermakna, penuh kebajikan, dan selaras dengan kodrat manusia.
Jika kita kaitkan dengan Islam, maka Nabi Muhammad SAW adalah figur eudemonis sejati. Kebahagiaan beliau tidak diukur dengan materi atau status, tetapi dengan akhlak mulia, kebermaknaan hidup, serta kedekatan kepada Allah. Hidup beliau sederhana, tetapi penuh nilai. Dalam konteks ini, memperingati Maulid berarti merefleksikan kembali jalan menuju kebahagiaan yang benar---jalan yang Nabi tunjukkan.
Ironisnya, sebagian masyarakat justru menukar makna itu dengan "kebahagiaan palsu" berupa pesta makan, gengsi sosial, atau bahkan hiburan dangdut seperti kasus di Mataram. Padahal, Nabi justru mengajarkan kesederhanaan, kasih sayang, dan solidaritas.
- Dari Retorika ke Realita
Pertanyaan pentingnya: bagaimana kita mengembalikan makna teologis Maulid di tengah arus konsumtif? Salah satu jawabannya ada pada cara dakwah. Penelitian tentang ceramah Ustadz Abdul Somad di Aceh menunjukkan bahwa retorika yang persuasif, spontan, dan mengena membuat pesan agama lebih hidup di hati jamaah.
Retorika bukan sekadar seni berbicara, melainkan seni menghidupkan kembali kesadaran. Ketika masyarakat terjebak pada formalitas kenduri, da'i yang komunikatif bisa menarik kembali perhatian mereka pada pesan inti: Nabi adalah teladan, Maulid adalah momentum cinta dan syukur, bukan pesta semata.
- Maulid sebagai Cermin Bangsa
Sejatinya, akulturasi budaya dalam tradisi Maulid adalah kekayaan Nusantara. Ia menunjukkan keluwesan Islam dalam berdialog dengan budaya lokal. Namun, ketika akulturasi itu bergeser menjadi sekadar formalitas tanpa ruh, maka kita perlu kembali bertanya: untuk apa Maulid kita rayakan?